Cerpen!

Guuuys aku di sini pengen ngepost cerpen aku yang baru aja jadi tugas bahasa indonesia aku. Baca terus komentarin yaaaaa :)

***

Si Gadis
Oleh Delia Rahma, X-2


Aku terduduk di sini. Menghindar dari keramaian di dalam, di mana suara dzikir dan tahlilan terdengar begitu lantangnya. Aku tak sanggup terus berada di dalam. Bukan tak sanggup dengan keramaiannya, tetapi tak sanggup melihatnya. Seorang gadis yang telah terselimuti kain. Teman-temanku masih berada di dalam, terus berdzikir dan memanjatkan doa untuknya. Sebelumnya aku memang sudah ke dalam, sempat merenung, ikut berdzikir juga berdoa untuknya.


Teringat aku akan masa-masa SMA. Aku masih ingat saat aku pertama kali melihat si gadis. Bahkan aku masih ingat tanggalnya - 27 Juli 2005 – di mana aku terbuai dalam pandangan pertamaku padanya. Sungguh, ia sangat, sangat cantik. Auranya selalu bersinar bak bintang di malam hari. Makhluk yang sangat indah, menurutku. Teman-temanku selalu membicarakannya. Kadang mereka bersaing untuk mendapatkannya, memperebutkannya dalam setiap pembicaraan mereka. Mereka pun pernah bertanya kepadaku, apa aku tertarik dengan si gadis atau tidak. Mereka sangat bersyukur dan kelihatan lega saat kukatakan tidak, padahal aku hanya berpura-pura. Yang benar saja. Siapa yang tidak tertarik oleh kecantikan si gadis.


Si gadis sungguh sangat menarik hati. Ia bukan hanya cantik wajah, melainkan juga cantik hati. Ia sangat baik kepada siapapun. Kabarnya, dia juga ikut dalam organisasi di luar sekolah yang selalu mengadakan kegiatan-kegiatan sosial seperti membantuk korban bencana alam, mengadakan bakti sosial pada hari-hari besar dan keagamaan, dan sejenisnya. Ia juga tidak pernah sombong dan selalu rendah hati. Semua orang senang bergaul padanya.


Kadang aku berpikir suatu hari nanti aku ingin bisa dekat dengannya. Tetapi mana mungkin. Ia terlalu populer, semua lelaki berusaha dekat dengannya. Aku hanyalah KM kelas, dan kesempatanku berbicara padanya hanya saat aku berbicara padanya sebagai KM. Lagipula aku memang bukan model lelaki yang mencari-cari perhatian perempuan, maka selama aku tertarik padanya, yang bisa aku lakukan hanyalah memandanginya dari kejauhan.


Namun pada bulan April 2006, tampaknya nasibku sedikit berubah.


Bulan April 2006 adalah saat aku diberi sebuah proyek besar yang diberikan salah satu guruku, yang dikerjakan berkelompok. Kelompok-kelompok itu dibentuk oleh guruku. Dan – entah keberuntungan darimana – aku sekelompok dengan si gadis! Sekuat tenaga kusembunyikan kegembiraanku, berusaha sekuat tenaga agar tidak salah tingkah. Setelah seminggu mengerjakan proyek tersebut, lama-lama aku terbiasa dengannya. Ia termasuk anggota yang aktif dalam menyusun proyek kelompok kami. Dan karena aku – lagi-lagi ketua – otomatis aku sering mendiskusikan segala hal padanya. Ia sangat ramah, supel dan luwes. Mengobrol dengannya berjam-jam pun takkan bosan rasanya. Tampaknya sudah tak ada lagi yang mengikatku untuk bisa dekat dengannya.


Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan pun berlalu. Lama-kelamaan, aku semakin akrab dengannya, sebagai sahabat. Walaupun aku masih mempunyai perasaan padanya, namun aku tak ada keinginan untuk menjadikannya lebih dari sekedar sahabat. Selain rasanya tidak mungkin ia bisa menjadi pacarku, aku tidak tega dan tidak sanggup untuk mengucapkan permintaan itu padanya, entah mengapa. Tidak tega untuk mengikat kebebasannya karena dia mempunyai hak untuk bersama dengan lelaki yang lebih baik, tidak sanggup karena aku memang lelaki payah dan penakut sehingga tidak cukup berani untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Biarlah perasaan ini ada tanpa harus diungkapkan. Menjadi sahabatnya saja sudah membuatku cukup bahagia. Biarlah aku mengungkapkan perasaanku lewat sikapku sebagai sahabat terbaiknya.


3 tahun aku sekelas dengannya, 3 tahun aku terpilih menjadi KM, 3 tahun pula aku bersahabat dengannya. Lulus SMA, kami masuk perguruan tinggi berbeda. Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan perguruan tinggi di luar negeri, tepatnya di Sydney, Australia. Kami hanya dapat berkomunikasi lewat e-mail, Facebook, dan Yahoo! Messenger. Aku sangat sibuk, sehingga aku jarang sekali online. Facebook dan Yahoo! Messenger-ku jarang sekali kubuka, sehingga aku tak dapat mengetahui perkembangan informasi yang terjadi di Indonesia sana.


Tanggal 8 Januari 2010 malam. Tiba-tiba tergerak hatiku untuk online. Saat itu jumat malam dan esok hari libur, jadi tak masalah jika aku bersantai sebentar.


Aku lebih tertarik membuka e-mailku terlebih dahulu. Dan – wah, ada e-mail dari temanku. Aku langsung mengklik link e-mail tersebut, penasaran apa informasi terbaru di dalamnya.


Dan aku terkaget. Dan aku terpukul. Dan aku tidak percaya. Sangat tidak percaya.


Spontan aku sign out dan langsung mengetik situs airasia.com pada kotak address di mozilla-ku. Aku mencari tiket Sydney-Jakarta jadwal 9 Januari 2010 pagi hari, dan akhirnya aku menemukannya dengan pukul 8 pagi waktu Sydney, yang berarti akan sampai di Jakarta pada pukul 11 pagi WIB. Lumayan. Aku langsung membelinya dengan kartu kredit daruratku.


Dan akhirnya di sinilah aku. Terduduk di sini. Menghindar dari keramaian di dalam, di mana suara dzikir dan tahlilan terdengar begitu lantangnya. Aku sangat ingin terbangun dari mimpi ini, tapi beberapa kali kutampar diriku aku tak dapat terbangun juga. Rasanya ada satu bagian dari hati ini yang hancur sekali. Dan yang lebih buruk, aku tak dapat menangis. Aku tak dapat mengeluarkan setetes air matapun bagaimanapun sedihnya aku sekarang.


Aku masih merenung dan merenung. Tiba-tiba ada seorang wanita yang menghampiriku.


Beliau ibunda gadis itu. Beliau tersenyum begitu manisnya kepadaku, yang mengingatkanku pada si gadis, walaupun matanya masih sangat sembab.


“Assalamu’alaikum... Ini Kamal, ya?” sapanya.


Aku bangun dan bersalaman hormat padanya.


“Wa’alaikum salam Tante. Iya Tante,” aku tersenyum padanya, berusaha memberikan rasa simpati.


“Tante ingat kamu sering main ke sini dulu, kerja kelompok sama Inggita,” beliau tersenyum.


Aku membalas senyumannya, tak tahu harus berkata apa.


“Sekarang di mana kamu? Kabarnya kamu di Australia?”


“Iya Tante,” jawabku pendek.


“Terus kapan kamu nyampenya?”


“Tadi pagi Tante. Aku baru dengar kabar ini tadi malam.”


“Wah, langsung dong, ya. Terima kasih ya Kamal, kamu sudah mau susah-susah ke sini,” ucapnya dengan suara seraknya.


“Tidak perlu begitu, Tante. Inggita sudah aku anggap saudara sendiri, awalnya aku benar-benar tidak percaya... Turut berduka cita, Tante.”


“Iya, terima kasih, ya Kamal. Tante juga tidak menyangka. Kejadian itu begitu cepat dan...”


Beliau menyeka air matanya.


“Sudahlah. Mungkin ini memang yang terbaik. Mungkin Allah terlalu sayang sama Inggita, sehingga ia dipanggil begitu cepatnya...”


Beliau kembali menyeka air matanya. Aku sangat tahu beliau berusaha keras untuk tegar dan tabah.


“Oh iya, tunggu sebentar,”selanya. Ibunda si gadis masuk ke dalam, dan tidak sampai semenit dia sudah balik lagi dengan membawa sebuah CD dan sebuah buku.


Beliau memberikannya padaku.


“Kamal, ini adalah CD rekaman penampilan Inggita saat membacakan puisi-puisinya di acara perpisahan kelas 3, yang mungkin bisa dijadikan kenang-kenangan. Masih ingat kan?” Beliau tersenyum. Aku balas tersenyum.


“Dan ini sebuah buku,” lanjutnya.


Aku menerima buku itu di tanganku.


“Buku apa ini, Tante?” tanyaku.


”Baca saja. Kau akan tahu.”


Rasa penasaran serta ketidaksabaranku tiba-tiba kambuh. Aku tidak bisa menunggu untuk membawanya dulu ke rumah lalu membacanya. Kontan aku segera keluar dan mencari tempat sepi. Aku memilih sebuah kursi yang dipindahkan ke halaman depan, duduk, lalu mengamati cover buku tersebut.


Buku itu indah sekali. Cover depannya seperti ditaburi pasir dan ada daun-daun kering di atasnya, dengan halaman-halamannya terdiri dari kertas papyrus yang ujung-ujungnya dilubangi dan diikat tali kasur. Tentu saja itu bukan buku cetakan, dan feelingku mengatakan bahwa ini adalah buku diari.


Kubuka halaman pertamanya. Benar saja. Di situ ada tulisan “Inggita’s Diary”. Aku rindu sekali dengan nama itu.


Kubuka halaman demi halamannya, kubaca tiap kata dan hurufnya, tak ada yang terlewat olehku. Kadang aku tertawa kecil membaca tulisannya tersebut, membayangkan kejadian yang digambarkan tulisan-tulisan itu.


Namun tiba-tiba aku menemukan sesuatu. Ada namaku di situ. Aku tersenyum.


Aku terus membacanya dengan seksama.


Dan tiba-tiba jantungku mulai berdebar. Setiap halaman yang kubuka membuatnya berdegup semakin kencang saja. Ada sesuatu yang baru kuketahui. Ada sesuatu yang benar-benar tidak kusangka yang baru aku ketahui sekarang.


Aku tidak kuat.


Aku langsung menutup buku itu di halaman tengah. Aku tidak bisa melanjutkannya sampai akhir. Sebagai lelaki, baru kali ini aku merasa sesedih ini, lebih buruk dari saat aku baru datang kemari.


Akhirnya pertama kali sejak bertahun-tahun lamanya, air mataku baru menetes kembali. Mengalir membasahi pipiku.


Aku melihat salah satu sahabat si gadis keluar. Ia melihatku, lalu menghampiriku. Aku cepat-cepat mengeringkan air mataku.


“Kamal,” sapanya.


“Nad,” kataku pendek.


“Kamu langsung dari Sydney?”


“Iya,” jawabku dengan suara serak.


“Ada apa, Mal?” Ia melihat sesuatu sedang tidak beres di wajahku.


Aku memberikan buku itu padanya.


“Ibunya tadi memberikan ini,”jelasku.


Sesaat ia tampak terkaget.


“Jadi... sekarang kamu sudah tahu?”


“Apa?”


“Bahwa selama 3 tahun ia menyukaimu, 3 tahun ia menunggumu dan 3 tahun ia selalu mengharapkanmu. Tapi kau hanya terus memberikan kebaikan padanya sebagai seorang sahabat. Ia mengira kau tidak tertarik padanya. Dan pada perpisahan kelas 3, ia sungguh-sungguh yakin kau akan mengatakan sesuatu...”


“Cukup,” potongku.


Air mataku yang kedua mulai menetes, mengalir dan membasahi pipiku.


“Aku sudah membacanya.” Aku menyeka air mataku.


“Aku tahu.”

***

Comments

Post a Comment

Popular Posts