Ia dan Kuda
Suatu pagi di suatu hari Minggu yang cerah...
Burung-burung masih bernyanyi. Sinar matahari menyusup masuk melalui dedaunan para pohon, menyinari taman itu. Entah karena hidungku yang telah terperbaiki fungsinya, tapi udara pagi itu terasa sangat segar saat menyentuh ujung saraf pembauanku.
Aku berjalan santai, menyusuri jalan setapak. Sudah pukul 8 lebih, mendekati pukul setengah 9. Cukup siang untuk berjalan pagi, namun sinar sang surya masih bersahabat di Taman Lansia Cisangkuy. Mungkin karena kebaikan para pepohon tinggi nan tua, melindungi aku dan ibuku dari bakal-bakal keganasannya.
Terdengar suara tapak kuda di kiri kanan. Ibuku menoleh, mencari suara itu. Lalu ia mendapati salah satu kuda coklat yang sedang berjalan. Kuda itu membawa seorang gadis kecil berkuncir dua, dituntun oleh seorang kusir di sampingnya. Si gadis yang merasa aman, tertawa-tawa dan melambaikan tangan pada orangtuanya yang berdiri tidak jauh dari situ. Ibuku terdiam memandanginya.
"Kenapa, Ma?" tanyaku, sadar ibuku sedang memperhatikan gadis itu.
"Oh, tidak," ucapnya.
Kami terus berjalan melalui jalan setapak itu. Aku hanya memperhatikan daun-daun yang masih berembun di sekitarku.
"Lihat gadis di atas kuda itu?" Mama menoleh padaku. Aku mengangguk. "Dulu, waktu Kak Tia masih sekecil gadis itu, ia juga suka sekali pada kuda. Saat kami semua pergi ke Jalan Ganesha, ia meminta agar dibolehkan naik kuda juga."
"Lalu?"
"Ia belajar cepat, sampai akhirnya ia merasa cukup mahir menyeimbangkan tubuhnya, ia pacu kuda itu. Sang penuntun kuda mulai berlari kecil di samping mereka. Dan kemudian, kuda itu mulai berlari terlalu cepat dari yang ia duga. Kakakmu itu terkejut. Tanpa kami sangka, ia jatuhkan dirinya dari kuda itu."
"Hah?" Aku terkejut mendengar cerita ibuku. "Lalu bagaimana keadaannya?"
"Tangan dan kakinya berdarah-darah, syukur tidak ada tulangnya yang patah. Lalu kami bawa ia ke UGD rumah sakit di dekat Jalan Ganesha itu," lanjut ibuku.
Aku mengernyitkan dahi.
"Bodoh sekali, untuk apa Kakak melakukan hal itu? Tidakkah Mama dan Ayah terkejut saat itu?"
Ibuku lalu tersenyum.
"Aku juga tidak mengerti saat itu, Nak. Sesaat setelah ia ditangani oleh perawat, Mama bertanya untuk apa dia menjatuhkan dirinya dari kuda di saat kuda itu berlari cepat."
"Lalu apa jawabannya?"
"Ia hanya bilang, 'Tia takut, takut tidak bisa bertemu Mama dan Ayah lagi,' "
Aku tertegun. Kulihat Ibuku, matanya menerawang. Aku kembali mengalihkan pandanganku pada daun-daun di pepohonan di atas.
Kehadirannya jelas masih terus terasa di tengah-tengah kami - terutama ibuku, walau kenyataan bahwa ia telah pergi tetap harus kami terima. Kurun waktu selama 9 tahun tidak memudarkan bayangannya di benak kami, terutama ibuku.
"Kak Tia.."
Kami pun melanjutkan langkah kami. Berjalan di taman rindang, di bawah pepohonan dan daun yang berembun. Matahari mulai terasa hangat, namun semua masih terasa segar. Sesegar ingatan itu pada benak ibuku, dan ceritanya padaku.
Burung-burung masih bernyanyi. Sinar matahari menyusup masuk melalui dedaunan para pohon, menyinari taman itu. Entah karena hidungku yang telah terperbaiki fungsinya, tapi udara pagi itu terasa sangat segar saat menyentuh ujung saraf pembauanku.
Aku berjalan santai, menyusuri jalan setapak. Sudah pukul 8 lebih, mendekati pukul setengah 9. Cukup siang untuk berjalan pagi, namun sinar sang surya masih bersahabat di Taman Lansia Cisangkuy. Mungkin karena kebaikan para pepohon tinggi nan tua, melindungi aku dan ibuku dari bakal-bakal keganasannya.
Terdengar suara tapak kuda di kiri kanan. Ibuku menoleh, mencari suara itu. Lalu ia mendapati salah satu kuda coklat yang sedang berjalan. Kuda itu membawa seorang gadis kecil berkuncir dua, dituntun oleh seorang kusir di sampingnya. Si gadis yang merasa aman, tertawa-tawa dan melambaikan tangan pada orangtuanya yang berdiri tidak jauh dari situ. Ibuku terdiam memandanginya.
"Kenapa, Ma?" tanyaku, sadar ibuku sedang memperhatikan gadis itu.
"Oh, tidak," ucapnya.
Kami terus berjalan melalui jalan setapak itu. Aku hanya memperhatikan daun-daun yang masih berembun di sekitarku.
"Lihat gadis di atas kuda itu?" Mama menoleh padaku. Aku mengangguk. "Dulu, waktu Kak Tia masih sekecil gadis itu, ia juga suka sekali pada kuda. Saat kami semua pergi ke Jalan Ganesha, ia meminta agar dibolehkan naik kuda juga."
"Lalu?"
"Ia belajar cepat, sampai akhirnya ia merasa cukup mahir menyeimbangkan tubuhnya, ia pacu kuda itu. Sang penuntun kuda mulai berlari kecil di samping mereka. Dan kemudian, kuda itu mulai berlari terlalu cepat dari yang ia duga. Kakakmu itu terkejut. Tanpa kami sangka, ia jatuhkan dirinya dari kuda itu."
"Hah?" Aku terkejut mendengar cerita ibuku. "Lalu bagaimana keadaannya?"
"Tangan dan kakinya berdarah-darah, syukur tidak ada tulangnya yang patah. Lalu kami bawa ia ke UGD rumah sakit di dekat Jalan Ganesha itu," lanjut ibuku.
Aku mengernyitkan dahi.
"Bodoh sekali, untuk apa Kakak melakukan hal itu? Tidakkah Mama dan Ayah terkejut saat itu?"
Ibuku lalu tersenyum.
"Aku juga tidak mengerti saat itu, Nak. Sesaat setelah ia ditangani oleh perawat, Mama bertanya untuk apa dia menjatuhkan dirinya dari kuda di saat kuda itu berlari cepat."
"Lalu apa jawabannya?"
"Ia hanya bilang, 'Tia takut, takut tidak bisa bertemu Mama dan Ayah lagi,' "
Aku tertegun. Kulihat Ibuku, matanya menerawang. Aku kembali mengalihkan pandanganku pada daun-daun di pepohonan di atas.
Kehadirannya jelas masih terus terasa di tengah-tengah kami - terutama ibuku, walau kenyataan bahwa ia telah pergi tetap harus kami terima. Kurun waktu selama 9 tahun tidak memudarkan bayangannya di benak kami, terutama ibuku.
"Kak Tia.."
Kami pun melanjutkan langkah kami. Berjalan di taman rindang, di bawah pepohonan dan daun yang berembun. Matahari mulai terasa hangat, namun semua masih terasa segar. Sesegar ingatan itu pada benak ibuku, dan ceritanya padaku.
udah lama ga berkunjung ke blog kamu del, hhe
ReplyDeletehmmm.. asik juga nih ceritanya. tapi kata-katanya itu loh deliaa.. "Kami pun melanjutkan langkah kami. Berjalan di taman rindang, di bawah pepohonan dan daun yang berembun. Matahari mulai terasa hangat, namun semua masih terasa segar. Sesegar ingatan itu pada benak ibuku, dan ceritanya padaku.
"
terasa seperti novel aja yaaa..? :)
oia, kunjung balik ya ke blog aku del..
http://dimas-zone.blogspot.com
eh dimaaas ;)
ReplyDeletehahaha emang sengaja dim, emangnya kenapa gitu ga cocok ya? atau gimana? ini tuh kejadian beneran dimaas, kejadian 'aku' beneran hehehe
siap dim, aku selalu dateng kok ngintip2 :))