Tentang Ayah

Sepulang nonton film Habibie & Ainun di Paris Van Java Mall, Bandung...

Mama memperhatikan wajahku, dan menyadari ada bekas air mata yang kubiarkan kering di pipiku.

"Kelihatannya kau lebih menghayati film tadi daripada Mama," ucap Mama sambil tersenyum jahil. Aku tertawa.

"Soalnya Pak Habibie itu, bikin aku berpikir tentang Ayah."

Mama mendelik ngeri. "Mirip? Kebagusan Ayah dimiripin sama Reza Rahadian." Beliau mencolek Ayah yang kelihatannya tak acuh dengan pembicaraan kami.

"Hahaha, bukan Reza Rahadian-nya, Ma. Pak Habibie-nya," jelasku tersenyum.

"Memangnya apa yang membuat Ayah mirip Pak Habibie?" Mama mulai tertarik.

"Hmmm...
"Pertama, Ayah, kan, insinyur, dan pernah sekolah ke luar negeri. Kedua, Ayah pernah di... Ya, kita sebut saja posisi tinggi, lalu ada lintah daratnya. Ketiga, menurutku sih, Ma, Ayah punya prinsip yang kuat. Keempat..." Aku terhenti.

"Apa selanjutnya?" tanya Mama penasaran. 

Aku tertawa. "Enggak jadi deh, Ma."

"Eh, dosa lho, buat orangtua penasaran," ancam Mama. Ayah berjalan lebih cepat dari kami. 

"Hahaha, Mama ingat kejadian Cikampek?"

***

Saat itu umurku masih 10 tahun, Ali 8 tahun, yang berarti kejadiannya berlangsung 9 tahun yang lalu...

Aku masih ingat. Hari itu hari Minggu jam 10 pagi. Mobilku melaju kencang di jalan tol Cikampek menuju Jakarta. Saat itu jalan tol Cipularang belum dibangun.

Ayah, Mama, aku, Ali, dan pamanku menempati jok mobil dengan posisi yang sangat rapi, dengan Bang An yang menjadi supirnya. Ayah di samping Bang An, Mama di belakang Ayah dengan aku disamping Mama, serta Ali dan pamanku di jok belakang.

Semuanya lelap tertidur, kecuali Mama dan, tentu saja, Bang An. Aku sendiri tertidur bersandar di kaca jendela mobil. Mama pelan-pelan menarik kepalaku untuk tidur di pangkuannya.

Tiba-tiba sesuatu yang tak terduga terjadi. Kepalaku seperti terbentur sesuatu. Aku bangun. Seketika, sandal, sepatu yang kulepas, botol minum, semua terlempar ke badanku. Kaca jendela mobil tempatku bersandar tadi, pecah. Aku sendiri seperti menabrak langit-langit mobil. Samar-samar terdengar teriakan-teriakan.

Setelah beberapa lama, aku kembali terlempar ke jok mobil dan kulihat barang-barang di sekitarku berserakan. Butuh beberapa saat untukku untuk menyadari bahwa mobil kami baru saja terguling ke separator. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku memeriksa kakiku yang sedikit perih, rupanya sedikit lecet.

Tiba-tiba terdengar suara Ayahku berteriak takbir dan istighfar. Aku melihat ke belakangku.

Wajah Mama bersimbah darah. Ayah panik, dan ketika ia menyadari dirinya tidak terkontrol, beliau lalu beristighfar banyak-banyak. Gemetar, ia mengambil sebuah sapu tangan dari sakunya, lalu mengusap wajah Mama sedikit-sedikit. Terlihatlah bahwa luka sebenarnya, yang hampir dapat dikatakan lubang, terletak di dahinya. Darahnya tak berhenti mengalir.

Entah darimana, seorang kakek tua tiba-tiba saja muncul di depan kami. Ia meminjam sapu tangan ayah, mengepalkannya hingga berbentuk sebuah bola, lalu menutup luka Mama sambil berdoa dan berdzikir. Seketika darah Mama berhenti mengalir, dan terdengar nafas lega Ayah. Mama segera dibawa ke puskesmas terdekat. Dan tanpa kami sadari, sang kakek tua telah hilang entah ke mana.

***

"...yang aku tak bisa lupakan itu ekspresi Ayah, Ma.
"Dan gumamannya,
'Istriku... Istriku sayang... Tidak apa-apa, istriku... Tidak apa-apa...'

mirip Pak Habibie, sama Ainun-nya."

Mama melihat dalam ke mataku, tak dapat berucap apa-apa.

Aku tersenyum geli dan tertawa melihat ekspresi Mama yang menurutku lucu.

Comments

  1. Hohoho, baru baca lagi blog si Odel. Kak Qq mengakui, ini bagus. Jadi kebayang wajah Mama, hehehe...

    ReplyDelete
  2. Hohohohohoho... Seering-sering kesini kak, makasih ya kak ;;)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts