One, Two, Three
Selamat malam, Omnivora!
Sudah 6 bulan loh sejak aku terakhir ngepost. Kangen banget ngeblog rasanya. Ngeblog dalam artian menulis ini, disadari banget macem pisau, tumpul kalo gak diasah. Percaya gak, untuk ngeblog setelah 6 bulan, aku bela-belain nyari bahan bacaan sebanyak 2 novel dan 1 majalah, lalu baru kembali percaya diri buat ngeblog lagi? Hehe, emang kayak gitu kenyataannya. Apalagi setelah lihat blog-blog orang yang bahasannya bagus-bagus dan berisi banget gitu. Gak kaya blog ini... (Y_Y) Rasanya gak rela kalau blog sendiri dari bahasanya aja udah ancur-ancuran. Mending bahasanya ancur tapi ada isinya, lah ini macem bungkus ciki? -_______________________-"
Okay, jadi.... Postingan ini ga bakal jauh dari postingan random lainnya, berisi... Hal-hal random yang akhir-akhir ini terpikir olehku sih.
Sebelumnya, selama 6 bulan ini banyak banget yang sudah terjadi. Banyak banget! Let me mention all of those to you.
Pertama: Dinamika kehidupan kampusku semakin menjadi, mungkin karena aku semakin dewasa dan sedikitnya bertambah tanggung jawab sebagai mahasiswa #asik. Aku terjun dalam himpunan jurusan dan unitku, aku mengambil mata kuliah KKN, aku diajak bergabung dalam salah satu kepanitiaan, dll. Himpunanku sudah berganti ketua, bahkan kabinet keluarga mahasiswa kampusku pun sudah berganti ketua. Rangkaian ospek jurusan bahkan hampir selesai. Tak urung dikabarkan mengenai berbagai perselisihan dan intrik di dalamnya. Aku pun semakin bisa melihat itu semua, dinamika di dalamnya. Pertanda statusku sebagai mahasiswa sudah mulai terasa?
Kedua: Palestina kembali digempur Israel dengan sangat biadabnya! Kali ini bahkan dengan serangan darat. Dari tentara Israel pun kini berjatuhan korban, namun kalau dibandingkan dengan korban Palestina perbandingannya sekitar 1:70 (ini dari perhitungan aku saja). Dunia tidak seluruhnya mendukung Palestina, karena Israel katanya mempunyai alasan atas gempuran itu! Sungguh, Obama dan Ban Ki Moon, where are your cosciences...? Capek hati bahasnya, apalagi kita gak bisa berbuat apa-apa selain mengisi petisi, menyebarkan propaganda, transfer bantuan materi, dan tentunya berdoa. Ya, berdoa. Itu hal terbesar yang bisa kita lakukan, mempersenjatai para mujahid dengan doa tulus kita.
Ketiga: Pemilihan presiden baru saja berlangsung di tanah air! Dengan kata lain momen yang menentukan nasib bangsa 5 tahun ke depan baru saja berlalu. Deklarasi pengumuman presiden terpilih sudah dilakukan, namun kabarnya lawan sang pemenang masih akan mengusut kecurangan yang terdapat pada pemilihan ini ke MK. Kita tunggu saja, teman-teman.
Keempat: Piala Dunia bahkan telah mengeluarkan juaranya. Dan kali ini berasal dari Tanah Eropa: Jerman. Banyak juga kabar-kabar miring tentang masyarakat kalah taruhan dan judi Piala Dunia ini yang berperilaku tak sepantasnya. Macem-macem aja -_-"
Kelima: Yang ini gak penting sih. Aku sudah menyelesaikan novel Atheis, Pride and Prejudice, Gadis Kretek, seluruh rangkaian Supernova! Dan sekarang akan melaju ke Winnetou. Fix, harus dibahas semuanya. Dan berhubung aku yang sedang agak down karena IP-ku yang turun, aku pun mencari semangat dan alasan - untuk apa aku melaju di jurusanku ini - dalam majalah-majalah sains. Aku lalu mendapatinya di NatGeo edisi tahun 2006, thanks to my sister's collection. Aku akan bercerita lain kali tentang ini.
Tapi kita pending dulu itu semua. Malem-malem suntuk gini gak akan ngebahas hal-hal yang bikin pusing macem gitu -_- Jadi, akan menulis apa Delia dalam postingan kali ini...?
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ONE.
Jadi tadi sempet chatting sama temanku, yang menyinggung tentang bagaimana menulis. Chatting dengan temanku yang lain beberapa waktu yang lalu juga menyinggung hal ini. Bukan, bukan menulis seperti menulis catatan, menyalin ujian, bukan. Ini menyangkut menulis, dengan menyuarakan pikiran. Hmmm....
Teman-temanku di atas itu, mereka tentunya telah mengetahui jawaban atas pertanyaan mereka masing-masing. Jadi aku disini ingin membuka topik pada kalian-kalian aja: Apa sih menurut kalian, menulis itu?
"Menulis itu ya, kaya kata kakak tadi, menyuarakan pikiran," Iyah he eh...
"Menulis itu ungkapan perasaan dan ekspresi pikiran," Iyah, kurang lebih sama ya, sebagai bentuk ekspresi...
"Menulis itu, bagaimana kita menceritakan kejadian, menggambarkan sesuatu, mengutarakan alasan, memaparkan proses, berusaha mengajak orang," Widih berat banget Bu, jagoan.. Eh tapi itu mah jenis-jenis karangan di pelajaran Bahasa Indonesia dong :O
"Menulis itu, memaparkan fakta dan kebenaran," Syiaaap~~~
"Menulis itu, mengeluarkan imajinasi," Imajinatif banget ya anaknya?
Emm, ada kemungkinan jawaban lain? *sok-sokan*
Ya, kurang lebih jawabannya memang itu. Menulis itu adalah bagaimana kamu MENGUTARAKAN PIKIRAN kamu dalam BENTUK TULISAN. Udah kok, cuma sampe situ.
Kadang-kadang orang suka nanya, memang teknik menulis itu seperti apa? Menulis itu memang banyak tekniknya, tergantung jenis tulisan apa yang kamu mau tulis. Tapi sampe sejauh ini, inilah teknik umum yang bisa saya bagi.
1. Tulislah apapun yang kamu ingin tulis. Jangan berpikir, biarkan otakmu mengalir dan lepaskan jari-jarimu menari. #asik
2. Untuk mencari inspirasi, jangan malah melamun dan stuck. Go outside and do something else! Pergi ke gunung, ke cafe, kemanapun, sambil refreshing atau sekedar mengerjakan rutinitas. Malah kadang inspirasi itu datang sendiri di tempat yang tidak disangka-sangka, karena itu jangan ditunggu. Buka mata, hati, dan telingamu, asah kepekaanmu atas apa yang terjadi di lingkungan sekitar kita.
3. Untuk menambah perbendaharaan kata, gaya bahasa, atau sekadar ilmu pengetahuan dan trivia untuk memperkaya tulisanmu, perbanyaklah membaca. Buku, koran, apa saja. Perbanyak juga berbincang dengan orang lain. Mereka semua akan menambahkan pandangan baru bagi dirimu.
So, what are you waiting for? Jangan sampai ide dalam otakmu akhirnya hilang menguap ke angkasa~~~~~
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWO.
Mama mempunyai dua toko di salah satu tempat perbelanjaan di Bandung. Pada kedua tokonya, Mama mempekerjakan 2 orang penjaga toko, 1 orang untuk masing-masing toko. Setiap hari, Mama selalu menyempatkan diri untuk datang ke kedua tokonya untuk mengontrol dan menemani sang penjaga toko, selain tentunya untuk menarik hasil penjualan.
Kedua orang wanita penjaga toko yang dipekerjakan Mama adalah wanita-wanita yang hidupnya sangat pas-pasan, namun sangat jujur dan baik hati. Mereka berdua selalu melaporkan kejadian terkecil yang terjadi hari itu. Sikapnya selalu santun dan tidak pernah mengeluh. Walaupun hidupnya sederhana, mereka selalu bilang pada Mama bahwa apa yang mereka punya sudah cukup. Aku selalu penasaran, di mana Mama bertemu orang-orang seperti ini.
Penjaga toko yang pertama bernama Teh Liha, nama aslinya adalah Maliha. Suaminya adalah tukang vulkanisir ban, anaknya baru saja lulus SMEA dan sekarang bekerja sebagai supir travel. Umurnya lebih muda dari Mama, tapi sudah bisa dibilang paruh baya.
Penjaga toko yang kedua bernama Teh Wiwin. Teh Wiwin telah memiliki anak juga, perempuan, masih kecil, dan baru berumur satu setengah tahun. Suami Teh Wiwin tidak tidak tinggal bersama mereka. Ia tinggal bersama istri pertamanya. Untungnya, sampai sekarang, suami Teh Wiwin selalu mengirimi Teh Wiwin dan anaknya sejumlah uang setiap bulannya. Teh Wiwin selalu mengatakan uang itu sangat cukup untuk kehidupan ia dan anaknya, walau kata Mama sejumlah uang tersebut bukanlah jumlah yang besar. Inilah yang membuat Mama menaruh perhatian lebih besar kepada Teh Wiwin.
Walaupun Teh Wiwin berperawakan kecil, Teh Wiwin adalah wanita yang kuat. Ia mau dipekerjakan apa saja. Ya, apa saja. Tapi Mama tidak mau membebani Teh Wiwin terlalu berat. Kadang, ketika akan memasukkan berkarung-karung stok baju dari dalam mobil ke dalam toko, Teh Wiwin seringkali menawarkan diri untuk mengangkat semuanya sendirian. Mama pun kerap marah kepada Teh Wiwin, marah karena khawatir. Teh Wiwin selalu berkata, "beneran, gak apa-apa Bu, saya bisa." Begitu juga ketika Mama hendak memberinya waktu istirahat dengan menutup toko. Teh Wiwin selalu menolak dan menawarkan diri untuk menjaga toko sampai sore.
Pernah sekali waktu, saat liburan tentunya, aku ikut ke toko yang dijaga Teh Wiwin. Saat kami masuk, Teh Wiwin dengan terkejut segera bangkit dari posisi duduknya, keluar toko, dan mengambilkan kami kursi. Aku sendiri saat itu bersikeras duduk di lantai, walau Teh Wiwin dengan keras kepalanya juga menawarkan kursi kepada aku dan Mama. Lalu selama kami ada di situ, Teh Wiwin sama sekali tidak mau duduk, di kursi ataupun di lantai. Ia berdiri sepanjang waktu. Saat disuruh ibuku duduk bersama di lantai, ia sangat segan dan menolak. Bahkan ia berdiri di luar toko, segan sekali untuk ikut masuk. Kebetulan, saat itu terlihat pula matanya yang sembab seperti habis menangis. Saat ditanya Mama mengapa ia menangis, ia tertawa-tawa menutupi kesedihannya dan berusaha terlihat ceria. Terlihat pula usaha dari Mama untuk memberikan suasana persahabatan pada Teh Wiwin, tapi itu sama sekali tidak bekerja, tidak seperti Mama dengan Teh Liha. Teh Wiwin selalu menganggap Mama sebagai majikan besarnya, walau Mama seringkali bersikeras memposisikan dirinya sama seperti Teh Wiwin.
Ada hal yang unik saat Mama suatu kali mengunjungi tokonya yang dijaga Teh Wiwin. Saat itu sedang bulan Ramadhan. Sebelumnya, saat mengunjungi toko Teh Liha, Teh Liha bercerita pada Mama bahwa Teh Wiwin seringkali tidak puasa, bukan karena haid. Mama khawatir karena Mama tahu Teh Wiwin punya sakit maag. Mama pun lalu datang ke toko Teh Wiwin, selain untuk kontrol harian, juga untuk menanyakan hal itu.
"Win, Wiwin puasa?" tanya Mama.
"Iya, puasa," jawabnya.
"Katanya, Wiwin gak puasa?" tanya Mama ragu.
"Ituu, tadi teh, saya nyuci pagi-pagi, terus capek. Terus, saya minum satu gelas teh manis. Udah, cuma segitu. Terus, saya puasa lagi, terus weh (aja) sampe sore, saya puasa ini," terang Teh Wiwin panjang lebar.
Mama melongo.
"Itu mah namanya gak puasa, Win!"
Aku mendengarnya ikut melongo. Kalau niat Mama selain mempekerjakan dia juga untuk - sedikitnya - mendidik dia, menularkan hal-hal baik padanya, untuk membuatnya lebih baik, tentu PR Mama akan banyak sekali.
THREE.
Ayahku, sudah di Bandung sejak lama sekali, sejak tahun 1971. Dihitung dari tahun lahirnya, 1953, berarti Ayah berumur 18 tahun ketika ia pertama kali di Bandung, merantau dari kota tempat ia besar, Medan.
Ayah bukan berasal dari keluarga
dapat hidup mewah. Ayahnek, panggilanku
untuk ayahnya Ayah, adalah seorang manager di perusahaan mobil di Medan
dengan gaji pas-pasan, walaupun dengan jabatan manager. Ayahnek
membiayai sekolah Ayah, tapi tidak memberi uang jajan. Anak-anak Ayahnek
total berjumlah 7 orang, dengan Ayah yang tertua. Ayah sengaja
berjualan mulai dari koran, kelapa, sampai kaca hasil pulungan, untuk
tambahan uang jajan.
Ayah diajak merantau ke Pulau Jawa oleh sepupu tertuanya, Om Iskandar. Om Iskandar merupakan calon ABRI dari akademi militer angkatan laut, dan saat itu ia hampir menyelesaikan akademinya. Om Iskandar mempunyai akses lebih di dunia perkapalan, sehingga saat ia akan bertolak ke Bandung, Ayah ikut serta diajak, karena saat itu Ayah dinilai telah cukup dewasa dan telah menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Namun, saat tiba di Jakarta, Ayah tak punya tujuan. Ikut dengan Om Iskandar, Ayah akhirnya dapat tempat tinggal. Awalnya Ayah tinggal di penampungan orang Aceh yang didirikan oleh orang Belanda yang baik, lalu Ayah pindah ke rumah saudaranya di Pasar Minggu dengan ganti Ayah harus mengurus anak-anak saudaranya tersebut, kemudian Ayah pindah lagi ke rumah saudaranya yang tinggal di komplek perumahan Cendana, dekat dengan rumah Pak Harto dan Ibnu Soetowo, sampai akhirnya Ayah disuruh pindah ke Bandung untuk menjaga wisma karyawan perusahaan saudaranya yang kaya tersebut.
Dengan menjaga wisma yang berada di Jalan Ranggamalela, dan ditemani bibi tukang masak, kehidupan Ayah di Bandung setidaknya dapat tertopang. Ayah diberi gaji sebanyak tiga ribu rupiah sebulan, yang jika dibandingkan saat ini senilai dengan uang tiga ratus ribu. Untuk menambah uang jajan, Ayah kembali berjualan, kali ini dengan rokok. Setelah perusahaan saudaranya yang kaya itu bangkrut, wisma tersebut diganti menjadi kos-kosan, dengan Ayah masih sebagai penjaga kosnya.
Sebagai penjaga kos, Ayah bertemu berbagai macam orang. Kebanyakan orang di situ adalah mahasiswa. Karena itu, Ayah berniat melanjutkan level sekolahnya di Bandung dengan mulai berkuliah dengan biaya dari gajinya menjaga kos-kosan dan berjualan rokok.
Ayah mulai kuliah di Bandung di Akademi Teknologi Negeri (ATN) dan mengambil gelar sarjana muda (setingkat Bachelor Degree atau D-3) di jurusan Teknik Mesin. Lalu saat ada kebijakan bahwa perguruan tinggi negeri akan dibuat menjadi satu, Ayah dipindahkan ke Institut Teknologi Bandung, namun hanya boleh berkuliah sampai setingkat apa yang ia ambil di akademi sebelumnya, yaitu sarjana muda. Saat Ayah pindah ke ITB, ATN berganti status menjadi perguruan tinggi swasta dan berganti nama menjadi Akademi Teknologi Nasional (sekarang dikenal dengan nama ITENAS). Setelah tahun ketiganya di ITB, Ayah lalu melamar kerja di PLN, dan diterima. Namun untuk melengkapi titel sarjananya, Ayah kembali melanjutkan studi teknik mesinnya di Sekolah Tinggi Teknik Mandala, tentu kini dengan biaya hasilnya bekerja sendiri. Saat Ayah sudah aktif di tempatnya bekerja, oleh PLN Ayah kembali disekolahkan untuk keperluan spesifikasi Ayah, yaitu ke New Zealand, di University of Auckland. Di sana, Ayah mengambil diploma degree dalam bidang geothermal. Jadilah Ayah bekerja di PLN sampai masa pensiunnya.
Cerita yang menarik datang saat Ayah masih menjadi penjaga kos. Di kos-kosan tersebut, Ayah adalah pemuda paling dekat dengan bibi tukang masak. Bibi tukang masak sayang sekali dengan Ayah. Lalu, di kos-kosan tersebut pula, Ayah bertemu dengan berbagai macam pemuda. Kebanyakan pemuda adalah anak rantauan, bukan orang Sunda.
Salah satu anak rantauan yang dekat dengan Ayah bernama Yoyo. Dia orang Batak dan berperangai sangat ceria.
Suatu hari, ketika Ayah sudah sangat dekat dengan Yoyo, Yoyo bertanya pada Ayah (nama Ayah adalah Darwis).
"Wis, sudah bisa kau berbahasa Sunda?" tanya Yoyo.
"Belum lah Yo, mana pernah aku bergaul sama orang Sunda di sini," jawab Ayahku jujur.
"Kau mau tidak belajar bahasa Sunda samaku (denganku)?"
"Mau ngajari apa kau rupanya, Yo?"
"Pelajaran pertama. Terima kasih. Sudah pernah kau mengucap 'terima kasih' sama orang Sunda di sini Wis?"
"Belum, memang apa bahasa Sundanya 'terima kasih'?"
"Nah, saat kau akan berterimakasih, bilangnya: Babal Sia," terang Yoyo.
"Ooooh oke, terima kasih, Yo! Babal Sia!" ucap Ayah senang.
Keesokan harinya, Ayah sengaja naik becak saat pulang menuju kos-kosan. Setelah sampai kos-kosan, Ayah turun dan memberi uang becak kepada Mang Becak.
"Mang, Babal Sia, nya!" ucap Ayah tersenyum, berterima kasih. Namun, Mang Becak tidak menjawab. Bukannya ramah, raut wajah Mang Becak malah menunjukkan ekspresi marah. Ayah heran melihatnya.
Sesampainya di kos-kosan, Ayah langsung mencari bibi tukang masak. Kepadanya, Ayah bertanya.
"Bi, kalau terima kasih itu, bahasa Sundanya, Babal Sia?"
Bibi tukang masak langsung terkejut.
"Astaghfirullaah! Wis, darimana kau belajar kata-kata itu? Tidak boleh! Itu kata-kata kotor, kasar! Tidak boleh berkata itu lagi! Kalau mau berterima kasih, bilangnya Hatur Nuhun. Bukan Babal Sia! Ingat, jangan bicara itu lagi ya!" cerocos Bibi tukang masak, marah.
Mendengarnya, Ayah langsung ke kamar Yoyo.
"Hei, Yo, kurang ajar kau ya!" sembur Ayah sewot. Yoyo menunjukkan wajah bingung.
"Kenapa kau ini, Wis?" tanyanya. Ayah lalu menceritakan kejadian hari ini. Mendengarnya, Yoyo tertawa terpingkal-pingkal.
"Wis... Wis. Kau ini memang lucu kali, lah."
Ayah memang polos sekali.
Aku tak pernah bosan mendengar sejarah Ayah dari sejak ia muda dahulu. Ayah selalu menceritakannya dengan detail. Ayah masih ingat dan hafal semuanya: nama orangnya, nama jalannya, tahun kejadiannya, raut mukanya, dan lain-lainnya. Padahal Ayah sudah berumur 61 tahun.
Cerita perjalanan dan kemajuan karier, Ayah memang sangat bersemangat menceritakannya. Namun selain itu, soal pernikahan bahkan pacar Ayah dulu, Ayah tidak mau menceritakannya. Aku langsung saja mencari Mama untuk menanyakan hal-hal semacam ini. Hehehe.
*Babal Sia = bahasa Sunda. Kasar banget. Semacam umpatan. Tapi akupun gak tau apa artinya -_-
Begitulah cerita One, Two, Three-ku. Walaupun sama sekali gak penting, hehehe, tapi terimakasih karena telah membaca! :)
Ciayooo Odel, terus menulis. Bagus kok tulisannya, semakin bagus malah.
ReplyDeleteBtw, aku baru tau cerita tentang ayah itu. Lucu banget, sampe ketawa sendiri��. Eh, mungkin karena ayah sendiri ya makanya terasa lucu.
Mudah2an ke depannya Odel bisa menulis untuk mencerdaskan ummat��✊✊
Eh ada chachooo. Yeay Alhamdulillaah. Ayah emang lucu, bukan karena ayah sendiri kok, ayah memanglucu :') terus delia wawancara ayah buat perjalanannya di bandung itu sampe dimarahin mama karena mie buat ayah jd diembat si ali -_-" aaamiin doain ya chachooooo!
ReplyDeleteHi Delia, seneng bacanya...situasi sama disini, baru malam ini terpikir buat nulis lagi...nulis makalah, proposal, scientific paper, memang seru tapi bahasanya kering sekali...
ReplyDeletesudah lama juga ga baca2 tulisan diluar jurnal riset...
oya ada tambahan nih
menulis itu mengkoleksi perasaan, pengalaman dan nuansa dalam hidup kita...
Iya dok, kadang-kadang di luar kerjaan harus juga bahas dan baca hal-hal ringan kan :D ya, setuju sekal. Makasih kak dokter!
ReplyDelete