Dari Segelas Kopi sampai ke Yogyakarta

Selamat pagi!


Seperti biasa, kalau sudah suntuk pikiran gak menentu, artinya aku butuh recharge: jalan-jalan, nulis, atau baca. Kegiatan nonton sudah aku coret dari kegiatan refreshingku, karena, kalau sendirian bisa jadi adiktif! Jadi lebih baik nonton dijadikan kegiatan untuk bonding aja~ 

Topik menulisku paling ringan dan happy-happy adalah nulis tentang jalan-jalan. Hihi! Why not?

Setelah melihat list topik menulisku yang ngantri panjang gak ditulis-tulis, ada tulisan "honeymoon".

Oh, iya! Honeymoon!


***


Honeymoon aku dan Arya sebenarnya selain bisa diartikan sebagai jalan-jalan pertama setelah menikah, juga sebagai ajang saling mengenal. OHHhhHh iya, sebenarnya pada tau gak sih, gimana caranya kami bertemu? =)) Let me tell you this one.


*****


Kami berdua sudah saling kenal sejak tahun kedua kuliah (masuk semester 5), sekitar tahun 2014. Saat itu, aku sedang membantu temanku yang jadi kepala divisi Opening-Closing OSKM 2014. 

Suatu hari, aku datang memenuhi panggilan rapat panitia terpusat karena temanku berhalangan hadir. Datang dengan overall denim-ku yang lusuh, aku duduk di lantai di luar sekretariat, mengelus-elus kucing yang datang, juga menengadah setiap ada orang yang lewat - siapa tahu ada yang aku kenal sehingga aku tidak lagi mati gaya. 

Seorang... Dua orang... Tiga orang... Serombongan orang... Tidak ada yang aku kenal! Ya ampun... Apa seharusnya aku pulang saja ya?

"Hai... Nungguin rapat juga?"

Seorang laki-laki datang. Memakai baju panitia, lusuh, keringatan. Ia tampak seumuran denganku.

"Iya! Masih lama ya?"

"Kayaknya bentar lagi deh, masih pada beres-beres setelah acara tadi. Tunggu di dalem aja."

"Ooo gitu, gak apa-apa aku nunggu di sini aja. Kenalin, aku Delia."

"Aku Arya. Jurusan apa?"

"BE 201x. Kamu?"

"TI 201x."

Kami pun ngobrol-ngobrol. Dari pembicaraan kami, aku pun tahu dia adalah salah satu Komandan Lapangan (salah satu orang yang memimpin jalannya acara, mobilisasi panitia dan mahasiswa baru), juga berasal dari Tasikmalaya.

*

Setelah momen kenalan waktu itu, kami sempat connect di Facebook, Instagram, dan Line. Saling bertegur sapa jika tiba-tiba bertemu di jalan. Juga kadang-kadang chit-chat lewat Line. Tapi karena tidak pernah berinteraksi di satu lingkaran kegiatan, kami tidak benar-benar mengenal satu sama lain. 

Sebagai orang yang selalu terkenal di kampus selama masa-masa perkuliahan kami, banyak sekali kabar burung beredar mengenai Arya ini. Dan belakangan aku tahu, di telinganya, juga banyak kabar burung beredar tentang aku. Pun berdasarkan kabar-kabar burung tersebut, kami berdua tidak pernah berpikir untuk saling "mendekati".

*

Tahun demi tahun berlalu. Tidak terasa sampai di tahun 2019, bulan Maret.

Tanggal 31 Maret 2019 adalah batas akhir pelaporan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) tahun 2018. Aku yang sempat menjadi posisi asisten akademik di jurusanku, kadung memiliki NPWP. Bersama rekan kerjaku di sebuah perusahaan rintisan, kami berdua melaju ke kantor pajak untuk meminta semacam set angka agar dapat melakukan pelaporan secara online. Set angka ini mesti didapatkan dengan menunjukkan beberapa berkas identitas diri.

Seluruh prosedur kami lakukan, termasuk mengantri dengan duduk di kursi Chitose, menunggu nomor di kartu yang kami pegang untuk dipanggil.

Saat menunggu, aku melihat ke arah tempat kakiku menapak. Pavement block yang kotor. Juga sebungkus pas foto dan kwitansi.

Aku melihat ke sekitarku. Tidak ada yang mencari-cari barang hilang.

Iseng, kuambil pas foto tersebut.

He? Arya? Wajah di foto itu Arya!

Refleks, kubuka aplikasi Line-ku. Ya, aku masih memiliki kontaknya. Aku foto pas foto tersebut, kukirimkan padanya.

"Hei, lihat apa yang kutemukan! Aku di kantorku kalau kamu mau ambil ya."

Arya baru membalas ketika aku sudah sampai kantor. 

"Oke, aku ke sana."

*

Setelah menerima cerita dari rekan kerja yang pergi bersamaku, orang-orang sekantor heboh meledekku.

"Wah, jodoh itu Del!"

"Kok bisa kayak FTV gitu, sih?"

"Ya ampun, kayaknya kamu yang keganjenan deh. Dia kan tinggal ngeprint foto sendiri lagi."

Komentar terakhir adalah ter-gak-banget. Bukannya lebih enak ambil sebentar ke kantor seberang ya? (Ya, kantor Arya memang bisa dibilang seberang kantorku). Lagipula tidak usah keluar uang lagi, kan.

*

Arya pun datang. Memakai kemeja kerja dan celana jeans. Rapi, kelimis, decent. Aku sedikit terkejut walau fotonya kerap berseliweran di timeline sosial media. Seperti dua orang berbeda jika dibandingkan dengan tahun 2014.

Aku serahkan foto tersebut. Dia memberikanku kopi.

"Eh, ngapain beliin kopi?"

"Gapapa lah. Makasih, fotonya udah disimpen."

Kami ngobrol sebentar. 6 bulan sebelumnya, ia baru saja pulang S2 di Belanda. Ia juga bertanya mengenai kegiatanku sekarang. Penampilan memang berubah, namun caranya mengobrol masih sama.

*

Aku pun lalu kembali ke kantorku dengan rekan-rekan kerjaku yang semakin usil mengataiku.

"Ngapain beliin kopi? Mending uangnya dipake ngeprint foto lagi lah dibanding beliin kopi, harganya tiga kali lipat!"

Aku tertawa tergagap-gagap. Aku tahu kopi hanya sebatas rasa terima kasih, tapi aku tak kuasa menahan malu diledek.

"Kita lihat aja. Cepet nih progressnya."

Rekan-rekan kerjaku berlagak seperti cenayang saja. 

Aku meragukan kata-kata rekan kerjaku. Arya punya terlalu banyak teman sehingga keluwesannya dalam bergaul boleh diadu. Justru tidak sepertiku, ambivert yang senang bergaul dengan lingkaran kecil, namun ketika bertemu orang baru, biasanya aku akan mengulang apa yang sudah kukatakan kepada mereka sebelum tidur di hari yang sama. Memastikan kalau aku tidak ada salah bicara sehingga aku bisa tidur nyenyak.

*

Setelah itu, Arya mulai sering muncul di notifikasiku. Tapi apakah frekuensi seminggu sekali cukup bisa disimpulkan sebagai penjajakan? Kurasa tidak. Aku masih berpikir aku dan dia mulai sering ngobrol karena kami sama-sama rindu kampus saja. Kampus dan seisinya, di masa kami.

Sekali waktu ia mengajakku ke kafe. Sedang menyiapkan proposal S3 katanya. Dan ada hal-hal yang perlu ia tanyakan yang seharusnya bisa kujawab karena bersinggungan dengan bidang ilmuku. Aku mengiyakan ajakannya.

Sekali waktu ia mengajakku berlari. Cari kawan berolahraga katanya. Kami berlari di daerah rindang Bandung: dari Borromeus sampai jalan pulau-pulau.

Sekali waktu ia mengajakku ke bakery. Kali ini tidak ada agenda khusus, hanya makan siang. Kami sama-sama makan sandwich. Dia minum cappuccino, aku minum cold pressed orange juice. Waktu itu awal Juni 2019, sudah lewat lebaran. Ia menceritakan tentang orangtuanya, keluarganya. Karena aku pun jadi terpikirkan keluargaku, akupun balik menimpali dengan bercerita  tentang orangtuaku, keluargaku.

Setelah beberapa saat, aku rasa kami sudah berbincang cukup lama. Lalu kutanya saja ia, “aku minta bill-nya ya?”

“Eh, tunggu,” katanya. Lalu ia bertanya kembali, “a… apa yang paling kamu suka dari tanaman?”

Aku bengong. “Ha? Yaa… suka aja. Seru gitu belajarnya, suka jadi amazed.”

Dia mengangguk-angguk kikuk.

“Sebenernya aku mau ngomong gini…”

Dia berbicara panjang lebar yang sekarang hanya kuingat ujungnya, 

“boleh gak kalau aku ingin kenal kamu untuk hubungan yang lebih jauh?”

Semua orang di teras bakery tersebut diam, menatap kami. Rupanya Arya berbicara terlampau keras. 

Tambah kikuk, aku memberikan isyarat padanya untuk mengecilkan suaranya. Wajah kami berdua betul-betul merah padam.

*

Setelah momen tersebut, hari-hari rasanya berlalu begitu cepat. Tanggal 28 Juni Arya beserta keluarganya dari Tasik bertandang ke rumah. Yang maksud awalnya menentukan tanggal lamaran, berubah menjadi menentukan tanggal akad. Kami menikah tanggal 2 Agustus 2019 :)




Sampai sekarang pertemuan kami yang aneh selalu jadi candaan kami bersama. Biasanya dibumbui dengan, “kenapa kita gak ‘jadi’ aja dari dulu sih?”

Jawabannya, kami juga tahu,

“Kalau dari dulu udah jadi, nanti sama Mama pasti disuruh putus. Belum S2, belum cukup wibawa, pun belum layak penampilannya.” 😊

*****


Oke, back to the topic. 

Perjalanan honeymoon (atau honeydays!) kami dilakukan lima hari setelah akad nikah. Di antara waktu tersebut, Arya mengikuti pra jabatan dosen (yang akhirnya batal karena demam dan divonis DBD oleh rumah sakit yang menangani saat Arya collapse di tempat kegiatan. Kami baru sadar bahwa selama akad, Arya sedang DBD!).

Liburan singkat pertama setelah menikah ini sebetulnya adalah hari-hari pertama kami saling mengenal, betul-betul mengenal. Bak dunia The Sims, menikah bagiku adalah kedatangan karakter baru. Dan di liburan saat itu adalah waktu-waktu di mana kami discovering traits satu sama lain dengan kecepatan tinggi. Dalam satu hari, rasanya di kepalaku banyak sekali "Ooooh...", menemukan sifat dan karakter Arya yang baru kuketahui.

Kenapa Yogyakarta? Karena Yogyakarta adalah kota di mana adik tertua Arya berkuliah, sehingga kami bisa meminjam motornya. Kami ingin liburan pertama ini seefisien mungkin, sambil mengumpulkan sumber daya untuk liburan selanjutnya. Dan lagi Yogyakarta memang seru! Ia punya sederet penginapan indah, segudang atraksi turis, serta kuliner yang luar biasa menggugah selera sekaligus murah meriah. Sepanjang hidupku, sudah berkali-kali rasanya ke Yogyakarta tapi aku tidak pernah puas.

Setelah ini, postingan ini hanya akan berisi cerita dan foto-foto perjalanan :)


***


7 Agustus 2019

Menempuh perjalanan menggunakan kereta, kami sampai Stasiun Yogyakarta jam 4 Subuh, dengan Arya yang sedang sakit kaki. Terpincang-pincang ia mencari GoCar menuju kos-kosan adiknya, Upi, di daerah Pogung Lor, Sleman.

Sampai di kos-kosan, Upi memasukkan kami ke dalam kamarnya. Rasanya seperti menyelundupkan pasangan haram. Jam 4 pagi bukan waktu yang normal untuk masuk ke kos-kosan orang!

Di dalam kamar, aku merasa kasihan dengan Upi. Aku waktu itu belum cukup akrab dengannya. Tapi karena ide laki-laki yang sudah jadi suamiku itu kami berdempetan bertiga di kamar adiknya. Aku memilih tidur beralaskan karpet berdua bersama Upi. Arya, bak raja, menguasai kasur adiknya. Kupikir ada semena-menanya juga abang ini.

Bangun jam 7, kami meminjam motor Upi, mencari gudeg dekat komplek kampus UGM. Namanya Gudeg Bu Hj. Amad. Gudegnya enak!

Sepiring Gudeg

Suasana resto gudeg

Duduk di sebelah istri, Ihiy.

Setelah itu, Arya bertanya, "Hari ini mau ke mana?" Aku sudah menyiapkan list tempat yang ingin kukunjungi selama di Yogyakarta.

"Bumi Langit? Tempat apa ini?"

Demi mewujudkan keinginanku, kami menempuh 1 jam perjalanan dari Sleman ke daerah Imogiri, Bantul. 

Sesampainya kami, "Kita satu jam perjalanan mau lihat kebun dan sapi?" Arya mengoceh. 

Ia tidak salah. Bumi Langit adalah suatu komplek Permakultur, sebisa mungkin menerapkan sistem hidup close loop. Sebagian besar sumber makanan diproduksi di kebun, juga sebagian besar limbah diolah di kebun. Surplus makanan dari kebunnya dijual di resto milik mereka sendiri, Warung Bumi. Sumber energinya tidak menggunakan listrik PLN, namun diupayakan sendiri dengan panel surya dan tenaga diesel, bertahap meninggalkan bahan bakar fosil. Kebun yang didesain secara Permakultur itu pula menerapkan sistem yang mempertimbangkan karakter dari setiap makhluk hidup. Aku pernah menulis tentang permakultur itu sendiri di sini.

Selama di tempat, panjang lebar aku berceramah pada Arya. Mengungkapkan sistem hidup ideal di mataku. Ia pun mengerti kenapa aku mengajaknya ke sini, saat honeymoon. Untuk bertukar pikiran tentang harapan dan cita-cita.

"Bagus. Keren. Terlalu ideal. Tapi sulit. Aku sudah terbiasa dengan yang praktis-praktis." Well, aku juga.

Walau terlihat skeptis, namun sampai sekarang aku menulis artikel ini, dia tidak lupa dan tidak menutup mata. Kadang-kadang di obrolan tentang cita-cita kita bersama, ia selalu menyisipkan keinginan aku yang ini. Tampaknya ceramahku tidak sia-sia. Arya bukan orang yang menggebu-gebu menyoal cita-cita, dan lama-kelamaan aku tahu kalau dia selalu ingat dan mendukung.


Musolanya adem banget

Langit-langit musola

Slefi


Di Warung Bumi

Yoi

Foto depan markisa

Ya gitu, kandang

Kandang lagi

Aku lupa di Warung Bumi kami pesan apa. Tapi aku ingat komentar Arya waktu itu, "Waduh, ini sih sehat banget." Gitu.

Kenyang merenung dan berkontemplasi, tak terasa kami sampai seharian di sana. Kami pun kembali ke kos-kosan Upi untuk mengambil barang dan melaju ke hotel. Ngadem.



Nama hotelnya Adhistana. Jika diibaratkan kue, proporsi telur, terigu, susu, dan butternya pas banget: harga terjangkau, suasana tenang, tempat strategis di Prawirotaman, nyaman pula, artsy lagi. Pilihan tepat lah. 4,5/5 cuma karena gak dapet breakfast, hihihihi. Sebetulnya gakpapa karena kami juga berniat cari sarapan khas Yogyakarta. Tapi sarapan gratis walau cuma roti susu juga akan selalu menyenangkan, ya kan?

Malam-malam, kami keluar cari makan malam. Kami pun ke House of Raminten. Suasana oke, makanan juga enak, harga murah! Yogyakarta banget. Tapi pusing deh, kok ya gak difoto. Gini nih, menyesal belakangan, ckckck.

***


8 Agustus 2019

Pagi-pagi bangun, kami cari tempat sarapan merakyat yang ratingnya bagus di gugel. Warung Brongkos Handayani it is. Off we go!


Seneng banget reunited dengan Wedang Secang

Heran deh, kok gak kepikiran foto Brongkos-nya ya.

Yang menyenangkan di warung ini juga karena lokasinya dekat alun-alun kidul Yogyakarta. Jadi kami sekalian jalan-jalan di alun-alun.

Setelah itu kami pergi cari es krim. Ke mana lagi kalau bukan ke...



Tempo Gelato! Tempat ini tuh ya kok precious banget! Tempat bagus, gelatonya juara. Hebat banget cuma ada di Yogyakarta dan ga buka di kota lain, kayak Bandung contohnya. ;;)

Setelah kembali ke hotel dan memindahkan barang-barang bawaan ke hotel berikutnya, tujuan kami selanjutnya masih wisata kuliner, yakni ke Gadri Resto. Nah, kalau menurut Arya, tempat ini kurang memuaskan, karena harga makanannya mahal tapi rasanya standar. Apa karena aku pesennya juga cuma bakmi godhog ya? Apa harus bistik biar living up to the expectation?

Tapi kami sepakat, tempat ini menang di suasana aja sih, suasana keraton. Waktu itu kami makan di teras, tapi masuk ke bangunannya karena mau numpang solat. Seneng juga sih melihat gaya rumahnya yang mewah khas keraton. 

Bakmi Godhog


Setelah makan, tujuan kami selanjutnya adalah ArtJog MMXIX. Destinasi ini sebetulnya adalah highlight of the day, namun sayang pengalamannya kurang sempurna karena Arya masih sakit kaki. Alhasil dia sebisa mungkin mencari tempat duduk sambil mengikutiku. Dan, usut punya usut, ternyata dia ikut ke sini hanya karena membuatku senang, katanya. Exhibition and museum is not my thing, katanya lagi. Ya ampun, another trait is discovered. “Aku jadi instahusband aja.”

"Awal mula dan akhir

adalah masa lalu dan masa depan

yang seringkali membuat kita lupa

akan kehidupan


Hidup saat ini


Sebenarnya pada saat inilah

hidup itu"
















ArtJog overall memang menyenangkan. Sejujurnya masih lebih seru pameran anak-anak DKV kampusku, karena nilai interaktivitasnya. ArtJog ini tuh berisi karya-karya yang baru bisa dipahami kalau kita duduk dan berpikir sejenak. Baru bisa dipahami betapa dalam maknanya. Walaupun demikian, banyak sekali karya dan display cakep yang tetap mewadahi pengunjungnya untuk berfoto ria. Aku tetap sangat menikmati ArtJog dengan segala karyanya. Sayangnya, dengan adanya term 'instagrammable' saat ini, venue agak dipadati dengan pengunjung yang memang cari foto instagrammable. Gak salah, cuma berisik dan rusuh aja :))

Seselesainya dari venue pameran, kami pulang ke hotel. Hotel kami kali ini bernama Tegal Panggung. Hotel yang lebih bisa disebut guesthouse ini suasananya nyaman sekali, dan rumahnya benar-benar khas Jawa!

Lalu malamnya kami pesan Sate Klathak dengan GoFood. Bukan merk yang terkenal. Walaupun gak sememuaskan itu, tapi lumayanlah. Harusnya waktu ke Bantul kemarin dicobain sebentar yang merk Pak Pong! Next time, deh. :)


9 Agustus 2019

Sedih banget menghadapi waktunya pulang tuh, karena sejujurnya dua hari adalah waktu yang terlalu singkat untuk menikmati Yogyakarta. Belum kita menikmati wisata alam dan pantai-pantainya, ya kan. Gumuk pasir juga belum!

Semoga lain waktu bisa ke sini lagi ya, bertiga (sama Neira yang sekarang sudah hampir dua tahun), atau ramai-ramai dengan keluarga besar. :)




***



Comments

Popular Posts