5 Menit Sekali
(diposting ulang dari sini)
Ini adalah suatu cerita, untuk diingat bersama kelak di masa depan: antara aku, Aa, dan Neira.
Dari awal kami menikah, Aa sudah bersiap untuk menurunkan ekspektasinya untuk segera punya anak denganku, karena saat masa perkenalan aku menerangkan pada Aa bahwa dari sejak SMP aku sudah menderita kista berkali-kali, sampai umur 25 tahun. Kistanya pun kista dalam (rahim) dan kista luar (bartolin) yang kurasa sangat erat kaitannya dengan tingkat stresku. Ya, aku sangat mudah stres dan kistaku sangat mudah muncul dan meradang. Masa-masa menstruasi selalu menjadi penderitaan bagiku.
Tapi qadarullah, di bulan ke-2 kami menikah, test pack kehamilan menyatakan bahwa aku positif hamil. Aku masih setengah percaya, Aa pun terkejut. Namun bohong rasanya jika kami bilang kami tidak bahagia.
Kami langsung cek ke dokter kandungan dan periksa USG. Usia kandunganku sudah 7 minggu, dengan besar janin 2 cm. Kala itu, kistaku 4,66 cm. Dokter sudah mengingatkan untuk mengubah pola makan dan memberikan resep obat agar nutrisi yang masuk ke tubuhku masuk untuk bayi, bukan untuk pembesaran kista.
Alhamdulillah, di usia kehamilan 3–4 bulan, ukuran janin sudah lebih besar dari kistanya, sehingga kista tersebut pun luruh.
Momen saat aku periksa USG dan mengetahui. hal itu, aku langsung meminta pada Aa untuk menamakan anak kami nanti dengan nama yang berarti ‘Obat’, karena Allah telah mengirimkan janin ini sebagai obat untuk penyakitku. Belakangan kami tahu bahwa jenis kelamin bayi kami kelak inshaAllah perempuan. Kami pun setuju agar nama “Assyifa”, yang berarti ‘Obat’, ikut disematkan pada nama bayi kami.
Pada trimester pertama, Alhamdulillah aku merasa banyak mendapat kemudahan. Tidak banyak yang kurasakan selain sedikit mual dan pusing-pusing – itupun jarang. Ketika orang-orang berpendapat trimester pertama adalah waktu yang sangat menyakitkan dengan mual-muntahnya dan tidak selera makan, aku malah selalu berpikir “Apa tidak apa jika aku tidak mual?”. Aa selama trimester pertama selalu membelikanku makanan sehat yang enak sesuai anjuran dokter untuk meniadakan kista. Sekali waktu aku muntah karena memakan salad dengan daun ketumbar, itu saja.
Di trimester kedua sampai tengah trimester ketiga, aku merasa merdeka sekali. Tubuhku pelan-pelan beradaptasi dengan kehamilan ini. Semua terasa kembali normal. Nafsu makan meningkat, tidak ada keinginan mual-muntah-pusing. Berat badanku pun naik secara signifikan, sekitar 10 kg.
Janinku sudah mulai berulah, dari bulan kelima ia sudah bergerak-gerak lincah dalam perutku. Aku dan Aa sering sekali mengamati pergerakannya dengan melihat atau meraba perutku. Untuk mengajak ngobrol, Aa ahlinya. Aa selalu menyapa si Adek saat pergi dan pulang kerja, malam-malam sebelum tidur, menanyakan apa cita-cita dan hobinya kelak, mengajaknya bercanda, dan lain-lainnya. Sedangkan aku adalah tipe yang malu-malu. Aku bingung akan mengobrol apa dengan si Adek. Jadi kadang-kadang sekali waktu aku ingat untuk mengajak ngobrol Adek, aku mengajak dia untuk membetulkan posisi di dalam perut, tidak memainkan tali pusar, mengajak untuk ikut berusaha dan bekerjasama yang baik denganku selama persiapan sampai proses persalinan nanti. Maaf, ibumu ini sangat kaku. Jadi tidak heran jika janinku lebih merespon Aa daripada aku. Ya, entah mengapa, ketika Aa sapa atau ajak ngobrol, si Adek langsung bergerak lincah.
(Si Adek juga bergerak lincah jika aku mengaji. Jadi mungkin itu cara komunikasi yang paling tepat pada saat itu antara aku dan si Adek.)
Aku berpikir, ingin sekali aku memiliki anak yang pemikir – berpikir luas, berpikir dalam, dan berpikir panjang, seperti Aa. Karenanya, saat Aa bertanya apakah ada tambahan nama lagi untuk anak kami, aku mengajukan beberapa nama yang artinya ‘Bijaksana’. Dari beberapa nama tersebut, terpilihlah nama “Neira”.
Baru di bulan kesembilan menuju kesepuluh, aku mudah merasa pegal dan kram. Sendi yang menghubungkan antara tulang panggul dan pahaku pun ganti-gantian terasa nyeri (belakangan aku tahu ketidaknyamanan ini dinamakan Pelvic Gridle Pain). Walaupun tidak sering, namun beberapa kali aku merasa tidak enak tidur. Berjalan pun rasanya sudah sangat berat.
Aku ingin sekali melahirkan secara normal. Karena dari cerita orang-orang, wanita yang melahirkan normal dapat kembali beraktivitas segera setelah melahirkan. Karena tidak ada kondisi medis yang terlihat berbahaya dari kehamilanku selama ini, dan dokter selalu berkata kondisi kehamilanku bagus, aku sangat percaya bisa melahirkan normal. Aku pun mengajukan pada Aa untuk melahirkan di klinik saja, tanpa menyiapkan alternatif cara persalinan lain.
Betapapun rasanya tidak enak berjalan dan berpindah posisi, kata dokter: jika ingin melahirkan secara normal, aku harus banyak berjalan dan mengepel lantai. Dari pengamatan dokter di USG, posisi kepala bayiku sudah di bawah, namun belum masuk panggul. Jadi aku mengikhtiarkan ia masuk panggul dengan cara berjalan kaki (hanya 30 menit-1 jam sehari), squat, dan beberapa gerakan yoga dan senam hamil. Dokter pun menyarankan untuk memperbanyak senam kegel untuk elastisitas perenium.
Aku berusaha melakukan semuanya, walaupun saat itu aku baru tahu bahwa untuk mengusahakan persalinan normal, seharusnya kulakukan sejak awal kehamilan.
Tiba saat Hari Perkiraan Kelahiran bayiku, yaitu tanggal 24 Mei 2020, hari Minggu – yang kebetulan bertepatan dengan Hari Lebaran.
Seperti hari-hari biasanya, Aa sangat giat mengajakku berjalan kaki pagi-pagi di sela-sela waktu bekerjanya di rumah, dan hari itu aku diajak berjalan-jalan setelah shalat Ied.
Sebelumnya, aku sudah sering mengalami kontraksi palsu, di mana perutku mules-tegang-lalu hilang begitu saja tanpa berbekas. Siangnya, kontraksi di perutku seakan muncul berirama, walaupun belum begitu teratur, yaitu 10–15 menit sekali dengan lama kontraksi 1–2 menit.
Aa langsung menawarkan memeriksakan kontraksi ini ke IGD klinik yang kami pilih untuk bersalin, dan kami pun segera bersiap-siap dan pergi. Benar saja, aku sudah masuk pembukaan 1. Namun bidan menyarankan aku untuk pulang lagi karena ia bilang pembukaan 1 bisa berlangsung berhari-hari bahkan sampai seminggu lamanya. Maka, sarannya, ketika aku sudah mengeluarkan lendir darah (bloody show) dan interval waktu kontraksinya sudah semakin memendek, silakan cek lagi ke IGD.
Besoknya, terlihat ada lendir darah di CD-ku, dan aku merasakan ritme kontraksi yang sama. Bedanya, kontraksi ini terjadi di sore hari, sehingga jam 9 malam kami kembali ke klinik. Setelah di-CTG, aku menunggu hasil observasi oleh bidan. Dan ternyata masih pembukaan 1. Selesai observasi jam 2 malam, kami memilih untuk pulang lagi setelah mendengar penjelasan dari bidan, dan memutuskan untuk kembali lagi ke klinik jika kontraksinya sudah 5 menit sekali.
Besoknya, kontraksiku semakin menguat dari jam 9 pagi. Saat jalan pagi, aku memohon pada Aa untuk berhenti setiap kontraksi karena rasanya kontraksi tersebut sudah mulai tak tertahankan. Aku rasakan terus kontraksi tersebut sampai akhirnya Aa memutuskan untuk membawaku ke klinik setelah maghrib.
Kami tiba di klinik jam 8 malam dan langsung diobservasi bidan. Ternyata, aku sudah berada di pembukaan 3 menuju pembukaan 4. Ibu bidan langsung berkata bahwa kami bisa langsung menuju ke ruang bersalin.
Rasanya senang bercampur takut. Senang karena pembukaanku maju dan rasanya tidak lama lagi aku akan bertemu bayiku, dan takut karena membayangkan sakit yang lebih menyakitkan dari kontraksiku saat itu. Ya, setiap 5 menit sekali kontraksiku muncul, tidak mengenal ampun. Dibandingkan dengan pembukaan 1 yang rasanya seperti mulas menstruasi, pembukaan 3 ke 4 ini rasanya lebih melilit.
Aa menelpon Mama dan Mama pun segera bergegas ke klinik. Aa terus mengingatkan aku untuk bernafas dengan teratur. Akupun lalu memintanya untuk membacakan dengan keras surat-surat Alquran dan doa-doa agar fokusku teralihkan, dari fokus pada sakit kontraksi pada mengingat hafalan surat dan doa. Di sela-sela itu, Aa pun mengurus segala administrasi yang dibutuhkan untuk persalinan dan bergantian menemaniku dengan Mama. Suster secara teratur memeriksa pembukaan leher rahimku, memeriksa detak jantung bayi, sekali waktu memasangiku infus, dan sempat mengambil darah untuk keperluan rapid test COVID-19 (Alhamdulillah, dari hasil rapid test tersebut, hasilnya aku non-reaktif).
Secara teratur, 1 jam sekali pembukaan bertambah. Dari 4 ke 5, 5 ke 6, 6 ke 7. Di pembukaan 7, aku merasa sakitnya mulai tak tertahankan. Aku tak kuasa untuk tidak berteriak dan mengerang dan menangis.
“A… Sakit… Mah… Sakit….”
Aa kembali membacakan ayat Alquran untuk kuhafalkan dan mengingatkan aku untuk bernafas, untuk meniup dengan mulutku.
Pembukaan 7 ke 9 adalah waktu terlama bagi hidupku. Kakiku mengejang menahan sakit, aku meremas tangan Aa, kadang mencakar dadanya. Aa tetap sabar mengingatkan aku untuk bernafas. Waktu itu, saat Aa membimbing aku untuk menghafal ayat Alquran, aku sudah tidak sanggup lagi untuk mengikuti Aa. Akhirnya Aa menggantinya dengan ucapan istighfar agar kuikuti.
Di sela-sela kontraksi, aku teringat dosa-dosaku pada orangtuaku. Kontan aku bergumam, “Ya Allah aku minta ampun… Ampuni aku ya Allah…”
Sakitnya kontraksi yang semakin terasa seperti dikuliti tersebut rasanya tak bisa lagi aku hadapi. Tak terbayangkan rasanya jika aku harus menghadapinya di lain waktu.
Di pembukaan 8 air ketubanku baru pecah dan berwarna kehijauan. Bidan dan suster langsung menelpon dokter untuk melaporkan keadaanku, karena air ketuban berwarna hijau sepertinya adalah keadaan darurat.
Jam 2 pagi aku sudah berada di pembukaan 9 selama entah berapa lama. Bidan dan suster masih saja bilang aku tidak boleh mengejan, padahal rasa itu sudah tak tertahankan.
Setelah mereka mengecek leher rahimku, “Bayinya belum turun (belum maju ke panggul bawah), Bu…”
Dokter pun belum datang-datang sehingga bidan dan suster tidak berani mengambil keputusan melihat keadaan aku dan bayiku.
Sambil menahan rasa sakit, aku berpikir sampai berapa lama lagi aku harus menahan rasa ini. Kontraksi terus datang tanpa jeda. Aa terus memegang tanganku dan mengingatkan aku untuk bernafas dan mengucapkan istighfar, di mana saat itu rasanya aku sudah ingin marah karena tidak bisa menahan rasa sakit dan sulit untuk mengatur nafas.
Dokter akhirnya datang jam setengah 3 pagi dan langsung mengobservasiku. Lalu ia berkata,
“Bu, jangan dulu mengejan. Bayinya masih belum turun. Kita tunggu setengah jam ya.”
Aku sudah hampir frustasi dan tidak sabaran. Aa berkata, “Sabar ya sayang. Sebentar lagi. Sebentar lagi kita ketemu Neira.”
Aku bertahan karena kata-kata itu saja. Berulang kali kulafalkan sambil mengatur nafas, “Sebentar lagi… Sebentar lagi…”
Setengah jam berlalu dan dokter terus mengobservasiku. Namun di ruangan itu tidak ada yang bergeming dan menunjukkan tanda-tanda adanya kabar baik. Aku meringis dan berkata pada Aa karena tidak sabaran, “Sampai kapan ini A? Sakit banget…”
Aa mengelus-elus kepalaku sambil berkata, “Sabar sayang, sabar ya. Berjuang terus ya, sedikit lagi.”
Kala itu sudah jam 3 lebih. Dokter pun akhirnya angkat bicara.
“Ini kita gak bisa nunggu lebih lama lagi. Bayinya belum juga turun panggul. Kalau kita tunggu lebih lama lagi, kasihan bayinya, air ketubannya hijau, takutnya ada yang kehirup. Kita operasi caesar ya. Bagaimana Bu, Pak?”
Ada sesuatu yang patah rasanya di hatiku. Aku melihat Aa. Aa melihatku. Mama yang sedari tadi berada dalam satu ruangan namun beda sekat karena tidak berani melihat saat-saat aku melahirkan, langsung menghampiriku.
“Astaghfirullah…” sahut Mama.
“Kita ikhlas ya, Dek?” ucap Aa padaku sambil menyeka air mata.
“Iya caesar aja,” kataku, sakit hati. Sulit rasanya sudah sejauh ini mesti merelakan perjuangan yang sudah dilalui. Namun apa daya, tidak ada pilihan lain. Aku pun membatin, baguslah, aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini.
Kami menunggu sampai jam setengah 4 sampai akhirnya aku pindah tempat tidur untuk dipindahkan ke ruangan operasi di rumah sakit rujukan klinik karena klinik yang kami pilih untuk bersalin tidak memiliki ruangan operasi caesar.
Sampai saat itu, aku meraung-raung menahan sakit kontraksi yang muncul tanpa jeda. Rasanya benar-benar seperti dikuliti, sakit sekujur tubuh. Badanku sudah mengajakku untuk mengejan, tapi suster terus-terusan mengingatkan aku jangan mengejan. Aku frustasi, kugoyangkan kepala dan kukejangkan kaki-kakiku untuk menahan rasa sakit.
“Boleh gak aku dibius aja?” sahutku, putus asa.
“Adek, istighfar.”
Aa juga terlihat frustasi dalam memintaku untuk bersabar. Akhirnya Aa dan Mama memilih untuk mengabarkan setiap pergerakan kami untuk mengalihkan perhatianku, dan lagi karena aku sudah tidak sabar dan aku tidak bisa mengira-ngira aku di mana.
“Kita jalan sekarang ya, ini ke ambulans.”
“Kita masuk ambulans ya.”
“Ini kita di jalan. Sebentar lagi sampai rumah sakit ya.”
“Kita sudah sampai rumah sakit ya.”
Tiba di rumah sakit, Aa mengurus entah-apa, sehingga yang mendampingiku Mama.
“Ma, ini kapan dibiusnya?” tanyaku, sambil menangis.
“Istighfar… istighfar… Sebentar lagi ya. Ikhlas ya, perjuangan kau dah jauh, tapi takdir Allah ceritanya lain,” Mama menghiburku.
Beberapa menit setelahnya aku sudah di ruang operasi. Seorang dokter yang sepertinya ahli anestesi menghampiriku yang terus-terusan bertanya kapan aku dibius. Ia berkata,
“Sekarang ya Neng. Muslim kan, Neng? Yuk babacaan. Astaghfirullahalazhiim… astaghfirullahalazhiim…” Dokter menyuntik punggungku yang tiba-tiba sudah tanpa baju. Tiba-tiba aku merasa mati rasa.
Aku merasa mati rasa, namun aku masih sadar. Sakit yang seperti dikuliti tadi tiba-tiba hilang. Aku yang sudah setengah sadar bernafas lega. Pelan-pelan aku dibaringkan, dokter anestesi tadi mengelus-elus kepalaku sambil membimbingku untuk berdoa.
Aku berbaring melihat lampu operasi. Berbagai pikiran datang dan pergi. Namun aku tahu ada pergerakan di daerah perutku, dan aku menantikan suara bayi.
Dokter kandunganku sambil melakukan entah-apa pada daerah perutku, mengajakku ngobrol yang bisa kudengar samar-samar.
“Padahal sudah sedikit lagi ya… Gak papa… Perjuangannya sudah hebat sekali…”
Kubalas dengan senyum sekedarnya.
Tidak sampai setengah jam rasanya, dokter kembali berbicara.
“Alhamdulillaaah… perempuan…”
Mendengar itu, aku menantikan tangisan. Namun yang ada hanya suster-suster berlari-lari. Aku tidak bisa memastikan apakah ada bayi yang dibawa atau tidak. Dan lalu, beberapa lama kemudian dari kejauhan ada suara bayi menangis.
Seorang suster membawa bayi berlari ke arahku dan menyodorkan pipinya ke wajahku.
“Ini Bu bayinya.”
Aku refleks menciumnya. Setelah itu, suster tersebut berlari lagi membawa pergi bayiku.
Aku tidak sadar apa yang terjadi. Yang aku tahu, aku harus bertanya pada dokter.
“Dok, bayinya sehat kan?”
Dokter menjawab, “Alhamdulillaaah, semoga sehat ya… Tadi air ketubannya tertelan dan terhirup. Untung kita gak menunggu lebih lama lagi.”
Aku anggap jawaban itu sebagai jawaban bahwa bayiku baik-baik saja. Dokter berkata lagi,
“Bayinya selama proses bersalin tadi sudah masuk panggul atas, lho. Tapi dia tidak bisa melanjutkan lebih jauh lagi. Tadi juga saya tarik dulu kepalanya. 3,4 kg beratnya, sepertinya memang terlalu besar. Kalau aja bayinya 3 kg, masih lolos sepertinya.”
Aku termenung memikirkan jawaban dokter. Neira benar-benar ikut berjuang bersama aku juga Aa. Maasya Allah.
Setelah selesai dioperasi, aku dikembalikan ke ruangan pasien. Mama menanyakan keadaanku dan setelah beliau melihatku baik-baik saja, Mama pamit pulang untuk menyiapkan kebutuhanku yg kurang untuk di kamar rawat inap klinik.
Aa pun datang. Ia melihatku sambil tersenyum dan berkata, “Makasih ya sudah berjuang banyak sekali.”
Perasaanku campur aduk. Aku meneteskan air mata tanpa sadar.
“A, nambahin nama Neira boleh gak?”
Aa melihatku. “Ditambahin apa?
“Gatau. Tapi yang artinya ‘pejuang’.”.
Aku menceritakan apa yang diberitahukan dokter di ruangan operasi. Aa mengamini, karena ternyata dokter pun sudah bilang kepadanya langsung seselesainya aku dioperasi.
Aa mencari-cari nama di internet selagi aku tertidur. Saat aku terbangun kembali,
“Dek, kalau ‘Khawla’ gimana?”
Dari pencariannya, Khawla adalah nama mujahidah yang dengan gagah berani melawan pasukan Romawi di dalam perang Yarmuk dan pemimpin dalam perang Shahura. Sosok pejuang muslimah yang melegenda karena keteguhan dan keberaniannya.
Aku tersenyum. “Boleh,” kataku.
“Neira Khawla Assyifa”
Semoga jadi perempuan pejuang yang bijaksana dan jadi obat untuk sekitarnya. Neira sudah jadi obat dan berjuang untuk Umma (Aku) dan Abah (Aa) sejak dari dalam kandungan.
Setelah itu, Neira masih berjuang di Perina selama 11 hari karena ternyata pernafasannya terganggu akibat menelan dan menghirup air ketuban hijau. Umma dan Abah sangat sedih belum bisa bertemu Neira. Banyak drama lainnya seperti misalnya drama pemulihan operasi caesar Umma sehingga sulit berjalan normal dan Abah setiap hari berjuang mengejar dokter dan suster perawat Neira serta bolak-balik mengantarkan ASIP ke rumah sakit. Tapi akhirnya semua itu terlewati juga. Pernafasan Neira kembali normal setelah 11 hari, Umma sembuh dan Abah pun bisa kembali tenang. Kehidupan akhirnya berjalan normal seperti yang kami idamkan.
Hari saat aku mempublikasikan cerita ini, adalah genap 3 minggu setelah Neira lahir. Neira, Umma, dan Abah Alhamdulillah sehat wal afiat. Hari ini rambut Neira selesai dipangkas habis, Umma punya jerawat baru, Abah selesai menyidang 2 orang mahasiswa. Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimusshalihaat.
Robbi auzi’nii an asykuro ni’matakallatii an’amta ‘alayya wa ‘alaa waalidayya wa an a’mala shoolihan tardhoohu, wa ashlih lii fii dzurriyyatii, innii tubtu ilaika wa innii minal muslimiin.
Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal shaleh yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (Al-Ahqaf [46]: 15).
Tidak apa-apa jika apa yang terjadi tidak sesuai dengan rencana yang disusun di awal :) . Allah punya rencana yang lebih baik, yang lebih indah untuk kita rasakan setelahnya.
Comments
Post a Comment