About Me Now is About Being A Mother
Menulis dan menjelaskan tentang diri sendiri itu susah-susah gampang ya, buat saya pribadi. Pasalnya, saya secara otomatis selalu cemas terhadap apa yang orang lain pikirkan terhadap saya. Saya lebih senang mendengarkan dan membaca hal-hal yang dikatakan orang lain, serta berkelana di pikiran saya sendiri untuk menyusuri pikiran orang tersebut.
Namun, di tulisan kali ini, saya merasa ada kesempatan untuk menumpahkan hal-hal yang selama ini saya tidak pernah ungkapkan. Mungkin ini adalah tempat yang tepat, yaitu ketika saya dipersilakan berbicara tentang saya sendiri. Mari kita coba kesampingkan kecemasan atas penghakiman orang lain tersebut. Saya bermaksud untuk mengikuti Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Januari 2022: Tentang Dirimu, Mamah Gajah.
*****
Bismillah...
Saya akan menuliskan salah satu perubahan terbesar pada saya seumur hidup: menjadi Ibu.
(Sebagai disclaimer, hal-hal di bawah ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi, tentu tidak terjadi pada setiap orang mengingat pribadi dan kondisi setiap orang berbeda.)
Mungkin saya akan banyak menuliskan bagaimana baby blues yang saya rasakan ketika baru menjadi ibu dari seorang bayi kecil.
***
Ketika bayi saya lahir, perasaan saya bercampur aduk.
"Aku, benar jadi Ibu?"
"Ada seseorang yang harus saya urus setiap waktu?"
"Aku masih bisa melakukan hal yang aku inginkan tidak, ya?"
"Akankah hubungan aku dengan suami serta keluargaku berubah?"
Menjadi ibu itu, sulit digambarkan dengan kata-kata. Momen ketika anak lahir di dunia, adalah momen yang membingungkan. Di sisi lain, saya tetap ingin jadi diri sendiri, yang menyenangkan diri sendiri dan memenuhi kebutuhan diri sendiri. Tapi di sisi lain juga, ada manusia kecil yang perlu diberi makan dan dididik. Hal ini kadang sulit dilakukan bersamaan. Alhasil, tidur yang tidak lagi nyenyak, makan bergizi dan minum air putih yang sering kali terlewatkan, olahraga yang sering kali tidak sempat, bahkan kegiatan di kamar kecil yang terburu-buru dan tidak tenang, dipaksa menjadi kebiasaan dan kewajaran bagi seorang ibu. Saya baru sadar, ada tanggung jawab besar di pundak yang tidak dapat lepas dari saya sekarang.
Sebagai seorang ibu baru, saya mengalami rasanya tiba-tiba menjadi soliter. Kondisinya, sejak melahirkan, saya sudah berhenti dari pekerjaan saya di sebuah start-up kelahiran Gajah. Saya sangat menikmati pekerjaan saya tersebut, namun saya pikir lebih baik saya berhenti karena saya ingin fokus pada anak saya terlebih dahulu. Ditambah lagi, waktu itu saya, suami, dan bayi kecil kami pindah ke sebuah kontrakan dari sebelumnya rumah ibu saya, saat usia anak 3 bulan. Sehingga, saat itu saya merasa, 'Kok, ternyata sepi ya..'. Apalagi kondisi emosional sejak setelah melahirkan belum stabil, perasaan saya masih naik turun. Anak belum bisa diajak komunikasi layaknya orang dewasa, suami pun sudah sibuk bekerja. Di masa-masa seperti ini, ternyata dunia terasa sunyi sekali. Di banyak waktu, hanya saya dan bayi. Dunia hanya berputar di bayi, bayi, dan bayi.
Lalu, sebagai seorang ibu baru, tidak bisa hilang kegalauan saya seputar: bagaimana dengan mimpi-mimpi saya? Bagaimana caranya saya bisa tetap mewujudkan mimpi-mimpi itu? Kapan saya punya kesempatan untuk melanjutkan perjalanan mewujudkan mimpi-mimpi saya? Di titik ini, saya merasa takut kehilangan diri saya. Apalagi, sebagai Mamah Gajah, saya memiliki lingkaran teman-teman dan sahabat-sahabat sesama alumni Gajah yang memiliki karir dan kegiatan yang hebat-hebat sekali, sangat menyilaukan untuk saya. Butuh waktu agar saya dapat mengerem diri saya sendiri dari perasaan iri dan tidak berharga.
Kemudian, sebagai seorang ibu baru, tentu saya merindukan kegiatan saya dan suami sebelum memiliki anak yang rasanya sangat menyenangkan. Nongkrong di cafe dengan kesibukan kami di laptop masing-masing, percakapan berfaedah yang hanya muncul di waktu-waktu santai, jalan-jalan di mall sampai kaki pegal, berwisata kuliner tanpa memandang waktu, nonton film di rumah atau di bioskop bersama sampai terbawa emosi karena begitu dalamnya terhanyut di jalan cerita film tersebut, liburan kemanapun kami mau, dan lain-lain. Ketika baru punya anak, saya berpikir, bagaimana kami melakukan itu semua lagi?
Sebagai seorang ibu baru, dengan segala tanggung jawab dan pengorbanan, sungguh saya merasa bahwa saya selama ini take my mom for granted. Sebelum menikah, mudah saja rasanya pulang ke rumah dengan wajah kuyu dan muram, melemparkan diri ke sofa, mengeluarkan telepon genggam dan membenamkan pikiran ke dalamnya, dan ketika ditanya ada apa oleh Ibu, dengan mudahnya saya membalas, "Capek Mah, pengen minum," lalu Ibu saya ke dapur dan membuat teh hangat untuk saya. Saya lalu merespon pertanyaan-pertanyaan dari Beliau dengan ala kadarnya karena sibuknya pikiran saya di dalam dunia maya. Momen lain yang saya tidak habis pikir jika saya pikirkan lagi, adalah ketika Ibu saya selesai memasak, saya memandang sekelebat pada meja makan lalu meleos ke dapur menggoreng nugget ayam.
Banyak sekali momen bersama Ibu saya yang ketika saya ingat-ingat lagi, saya menyesal sekali betapa ignorant-nya saya dulu. Setelah punya anak, saya seolah seperti tersadarkan dan merasa bodoh sekali. Kalau saya bisa mengulang waktu, betapa inginnya saya memperbaiki sikap-sikap saya terhadap Ibu saya dulu.
***
Waktu pun berjalan. Untuk melewati satu hari rasanya waktu berjalan lama sekali dengan mengurus seorang bayi, namun tidak terasa bayi melewati usia 4 bulan, 5 bulan, 6 bulan... Tiba-tiba, ia sebentar lagi menginjak usia 20 bulan!
Sekarang, tidur yang tidak lagi nyenyak, makan bergizi dan minum air putih yang sering kali terlewatkan, olahraga yang sering kali tidak sempat, bahkan kegiatan di kamar kecil yang terburu-buru dan tidak tenang, bukan masalah yang berarti untuk saya. Tanggung jawab besar di pundak tersebut adalah tanggung jawab yang menyenangkan. Anak saya merupakan tanggung jawab yang damai sekali ketika tidur, riang ketika bermain, berwajah merah ketika menangis, dan lucu sekali ketika menirukan gerak-gerik orangtuanya. Tanggung jawab tersebut berubah bentuk menjadi bagian dari diri saya yang tidak mau saya lepaskan. Now, I couldn't imagine my life without my daughter.
Saya melakukan beberapa adaptasi untuk kebutuhan diri saya sendiri, dan Alhamdulillah everything's is under control. Seperti, berusaha mencukupkan tidur walaupun ada beberapa pekerjaan rumah tangga yang ditunda, membuat reminder untuk makan dan minum yang cukup, olahraga ketika anak tidur, dan bergantian dengan ayahnya untuk waktu saya di kamar kecil -- ketika ayahnya tidak ada, saya berikan screen time atau saya biarkan anak saya ikut saya ke dalam kamar kecil.
Sekarang, saya dapat menyatakan bahwa perasaan saya sudah stabil. Untuk saya, bertiga dengan suami dan anak, atau berdua dengan anak ketika suami bekerja, lama-lama menjadi solitary yang bisa saya terima, bahkan saya butuhkan. Ketika butuh bersosialisasi dengan keluarga, teman dan sahabat, saya menghubungi mereka, entah itu lewat video call, voice call, atau sekedar chat di WA. Ikut webinar kadang menjadi obat kesepian bagi saya.
Sekarang, saya juga berkompromi dengan mimpi-mimpi saya. Suami saya membantu saya dalam hal ini: berdiskusi mengenai bagaimana kami bekerjasama agar kami bisa menggapai mimpi duniawi masing-masing. Ia banyak membagi tentang tips produktivitas yang banyak ia dapatkan dari berbagai sumber, agar saya dapat keep on track dengan diri saya sendiri dan dengan mimpi-mimpi saya. I think it works -- dengan tips tersebut, saya tidak merasa kehilangan diri saya sendiri. Suami selalu mengingatkan saya, bahwa InsyaAllah saya pasti bisa mewujudkan mimpi-mimpi saya. Saya hanya perlu bersabar dan berdoa, dan menjalani peran sekarang dengan baik, juga tidak melupakan mimpi-mimpi saya dengan melakukan rutinitas-rutinitas kecil yang akan menghubungkan saya selalu dengan mimpi-mimpi saya. Small steps, small steps, small steps. Bersabar, insyaAllah pasti ada jalannya. Kami bersepakat, jangan sampai mengabaikan peran yang sekarang sedang dijalani lalu menyesal kemudian di masa depan. Mimpi dapat menunggu, namun usia emas anak tidak dapat diulang.
Lalu, sebagai Mamah Gajah, setelah melancong di berbagai grup sosial media Mamah Gajah, saya menjadi terinformasikan bahwa ternyata banyak Mamah Gajah yang sedang atau pernah mengalami hal dan perasaan yang saya rasakan, lalu berhasil keluar dari awan hitam baby blues yang kelabu menjadi pribadi yang lebih baik dan sehat mental. Mengetahui itu semua, saya merasa tidak lagi sendirian dan memiliki teman -- kakak tingkat seperjuangan.
Dan, tidak dapat dipungkiri, di luar prestasi dan karir yang menyilaukan, bagi saya kebanyakan alumni Gajah memiliki satu kesamaan: mereka produktif, giat, dan terbaik di bidangnya. Banyak Mamah Gajah yang saya kagumi dan menjadi inspirasi saya, khususnya dalam menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak. Titel Mamah Gajah memang terasa berat dan saya merasa saya sama sekali tidak mencerminkan Mamah Gajah yang ada di bayangan orang-orang. Tapi, titel itu pula yang menginspirasi saya untuk lebih produktif, giat, melakukan hal-hal berdasarkan ilmu, dan berusaha menjadi yang terbaik. Setiap ada perasaan iri, saya berusaha untuk mengubah perasaan tersebut menjadi perasaan terinspirasi.
Kemudian, sekarang, walaupun berubah bentuknya, kegiatan saya dan suami tetap terasa menyenangkan, dengan satu anggota baru dalam setiap kegiatan bersenang-senang. Bahkan, di umurnya yang sekarang, anak saya tidak mau sama sekali merasa left out and being an outsider. Dia harus merasa dilibatkan dan ikut merasakan keseruan kami. Kegiatan kami lebih banyak berputar di bermain, dan menjadikan rumah lebih nyaman. Percakapan berfaedah berganti waktu menjadi saat pillow talk, dengan anak kami yang selalu mengantuk dan terninabobokan dengan segala percakapan kami. Tentu, walaupun tidak sesering dulu, kami tetap jalan-jalan dan berwisata kuliner, dengan berbagai penyesuaian terhadap si kecil juga pembangunan strategi agar ia tetap riang. Sekali waktu suami pernah berceletuk, "I think I like my life now more with you and Neira, the three of us. Lebih banyak tantangan, tapi lebih seru sekaligus nyaman."
Dan terakhir, never have I ever looked at my Mom now the same way as I looked to her before. Additionally, at my older sister, who gave birth and raised four amazing kids with their amazing talents. Mothers are real-life heroes and the most hardworking people in the world. Saya lebih hormat pada Ibu saya, lebih berusaha untuk menghadapinya in my best behaviour. Saya lebih bisa menghargai hal-hal yang saya punya, juga lebih mudah berempati dengan orang lain. It's true. Menjadi ibu memang pengalaman dan pelajaran hidup yang sangat berharga, yang dapat mengubah dunia saya dan cara pandang saya, made me a completely different person.
***
Ajaibnya, those questions that stroke my mental down now become nothing. I kind of looked at those past 20 months and I thought, "Wow, what a rollercoaster ride," with smile -- then in seconds i switched my thought to searching for my daughter because, "Why is it so quite here? What are you doing, dear?" and found her messing up with my drawer. I ranted a bit, closed my drawer and brought her to her books, couldn't skip a kiss to her chubby cheeks.
*****
Comments
Post a Comment