3 Years of doing My Master’s Degree (1)

Before I began to write, I had to make sure that I passed my pre-menstrual syndrome. And I think, yes, I did. No more failure stories spinning in my head, and no more existential crisis about why I am not a hustle-bustle girl. So here I am, passed all the requirements to have a Master’s degree. A proud one, yes. But here, in this 3-parts short story, I want to contemplate how I can get into one.
Dimulai dari, sebelum sarjana. Dari dulu aku selalu bermimpi melanjutkan kuliah master di luar negeri. Kenapa, harus di luar negeri? Sederhananya, aku tumbuh dengan cerita-cerita dari Barat. Aku hanya ingin tahu bagaimana dunia bekerja di Barat sana. Jika melanjutkan kuliah master adalah salah satu cara untuk bisa mencapai dunia Barat, maka aku akan melakukannya.
Karenanya, aku usahakan nilai sarjanaku, setidaknya di atas 3,5, agar aku punya modal aman. Walaupun ternyata, teman-temanku yang memiliki nilai di bawah itupun tidak memiliki masalah untuk mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri. Lalu dari kelas 5 SD, aku diikutkan kursus bahasa Inggris. Ini sangat membantuku dalam latihan dan memenuhi nilai IELTS.
Saat teman-temanku bertanya, “Kamu pengen jadi apa?” Aku selalu menjawab, “Dosen, atau scientist, mungkin? Aku ingin kuliah ke luar negeri.” Ya, sebenarnya yang pasti adalah kalimat kedua, dengan entah apapun cita-cita yang terdengar akan masuk akal di kalimat pertamanya. Lalu mereka bertanya, ”Mamamu bagaimana?”
Oh iya, Mama. Mamaku yang selalu khawatir terhadapku. Dari kecil, aku tidak boleh menginap di rumah teman. Bahkan saat SMA, saat teman-temanku mengajak ke Dunia Fantasi, Jakarta, Mamaku menyuruh supirku untuk ikut serta. Aku pernah bertanya pada Mama, “Ma, boleh Delia kuliah ke luar negeri?” Sebutnya, “Boleh. Mungkin Mama ikut.”
Mama ikut? Aku tidak terbayang konsep itu. Jadi Mama ikut ngekos berdua denganku? Tapi bagaimana dengan adik dan Ayah?
Lalu, setiap aku menemukan info beasiswa ke luar negeri, aku akan mengajukannya pada Mama. Lalu kata Mama, “Gak usah, lah. Gimana caranya kau sendirian di sana.” Mungkin sebenarnya Mama memang tidak membolehkanku kuliah ke luar negeri sendirian.
Saat aku diajak Umrah oleh orangtuaku saat lulus kuliah, aku berdoa banyak sekali di depan Kabah. Salah satu doanya adalah, “Ya Allah, beri aku kesempatan melanjutkan kuliah Master di luar negeri…”
Fast forward — aku menikah dengan dosen muda yang harus menjalani tugas belajar di Belanda. Aku merinding. Oooh, jadi ini jalannya, batinku. Kami pun memiliki satu orang anak perempuan.
2019 saya menikah, 2021 kami sekeluarga berangkat ke Belanda. Suamiku mendukungku untuk apply beasiswa ke LPDP. Ketika aku sudah mengantongi Letter of Acceptance dari Utrecht University, universitas yang berjarak 1 jam dari kotaku, aku mendaftar LPDP.
Saat tahap interview akhir, aku sangat cemas para pewawancara akan tahu bahwa aku di Belanda, cemas mereka akan berpikiran bahwa aku hanya aji mumpung suamiku. Walaupun setelah dipikir-pikir lagi sekarang, jika iya aji mumpung, lalu kenapa? Namun akhirnya, bukan itu alasanku ditolak LPDP. Aku ditolak LPDP karena aku belum menghubungi langsung profesor di kampus tempatku diterima. Ini adalah alasan yang tidak masuk akal karena di Belanda, hal ini tidak perlu dilakukan jika Master yang akan kujalani adalah course-based. Tapi tentu aku anggap saja itu bukan rezekiku.
Mendaftar ke UU kulakukan dengan nekat, sambil dipenuhi kecemasan akan anakku. Anakku baru 1,5 tahun menuju 2 tahun. Jika aku berkuliah — anggaplah dari rumah aku berangkat jam 7 pagi dan sampai rumah jam 6 sore — bagaimana aku akan mengurusnya? Apakah aku akan menitipkan anakku di daycare? Namun bagaimana biayanya? Beasiswa suamiku tidak mungkin cukup untuk menanggungnya. Biaya daycare di Belanda bisa mencapai 1.000 EUR per bulan, kurang lebih sama seperti sewa rumah sebulan di Belanda.
Di suatu acara bersama komunitas Indonesia, aku berkenalan dengan banyak teman-teman perempuan. Salah satunya Ilma. Kami sama-sama satu almamater di ITB. Saat berkenalan, sampailah pembicaraan pada ‘apa yang akan kami lakukan’. Aku katakan bahwa aku ingin berkuliah master namun aku baru ditolak LPDP. Ilma lalu memberitahuku skema yang sangat menarik. Jika suamiku berstatus researcher di kartu izin tinggal Belanda-nya, aku akan dapat diskon untuk berkuliah di Belanda sehingga harganya sama dengan tuition fee untuk warga Belanda: 2200 EUR atau sekitar Rp30.000.000 setahun untuk tahun 2021. Lalu, Wageningen University, universitas dengan peringkat nomor 1 di dunia untuk bidang pertanian, menyediakan program online master part-time untuk tiga jurusan, salah satunya Plant Breeding. Aku benar-benar merasa ini adalah jawaban dari doaku, Allah Maha Mendengar.
Jadilah aku berkuliah online. 2 tahun penuh courses kujalani, bergantian dengan mengurus Neira, anakku. Di usia 2 tahun, Neira masuk peuterspeelzaal atau playgroup, yang dianjurkan oleh pemerintah. Seminggu empat hari — 2 hari dibayar sendiri, 2 hari dibayarkan oleh pemerintah untuk anak-anak dari luar Belanda, agar kemampuan bahasa Belanda mereka meningkat. Di usia 4 tahun, Neira masuk basischool atau primary school, setingkat TK kecil dan level paling tingginya adalah kelas 6 SD, jadi ada 8 tingkat. Aku belajar full saat ia sekolah, dan mengajaknya bermain saat ia pulang sekolah. Namun, tetap saja, kadang-kadang mengorbankan weekend saat menuju ujian atau jika ada kerja kelompok.
Walaupun sebagian besar waktu kuliah adalah online, namun selama 2 minggu setiap tahunnya kami harus ke kampus untuk berbagai kegiatan: praktikum di lab kering (belajar pemrograman), praktikum di lab basah, dan ekskursi perusahaan. Itupun, aku selalu izin dari agenda bercengkrama, karena agenda happy-happy tersebut selalu dilakukan setelah jam 5 sore. Teman-teman seangkatanku ada 20 orang. 5 orang dari Belanda, 3 orang dari USA, sisanya dari Swiss, Italia, Jerman, Yunani, Suriname. Aku mendapatkan 2 orang teman dekat bernama Jaap dan Valentina. Kami dekat karena kami sekelompok di course Plant Biotechnology, mengerjakan tugas tersebut dengan sepenuh hati, dan menjadi kelompok terbaik untuk presentasi dan keseluruhan konsep. Benar-benar pengalaman yang menyenangkan untukku.
Setidaknya dari berbagai kerja kelompok, aku jadi tahu bagaimana etos kerja yang diharapkan, setidaknya untuk standar Eropa. Hadir dan tidak hilang-hilangan adalah etika standar. Semuanya bekerja dengan santai dan biasa saja, tidak terlalu ambisius, tidak malas-malasan juga. Jika punya opini, keluarkan dan jangan pendam. Tidak bekerja saat hari libur, sakit, atau acara penting keluarga. Semuanya terasa seimbang. Alhamdulillah, sebagian besar waktu aku dapat mengerjakannya dengan baik dan tepat waktu.
Tidak terasa 2 tahun terlewati. Aku hanya punya waktu 1 tahun lagi, yaitu waktu sampai suamiku menyelesaikan PhD-nya. Jika mengikuti timeline part-time, aku bisa menjalani internship dan thesis dalam waktu masing-masing satu tahun. Karena keterbatasan ini, aku harus menyelesaikan keduanya dalam satu tahun. Cerita ini akan aku lanjutkan di Part 2 dan Part 3.
Hikmah terbesar dari perjalananku mendapatkan kuliah Master ini adalah: manfaat bersabar dan berdoa, dan — Allah itu Maha Mendengar. Maybe it happens differently to each person but in my story, Allah tailored everything so it matches perfectly, exactly, to how I do my life. It’s a big lesson for me, to be patient, because He listens, He listens to every heartbeat of my wishes.

Comments
Post a Comment